Senin, 12 Agustus 2013

Perjalanan Kebangsaan Indonesia Merdeka (II) - Nasionalisme Relawan PMI

copas status FB Nova Wijaya

Jika kita bertanya kepada kebanyakan remaja Indonesia saat ini tentang mimpinya, mungkin akan diperoleh jawaban ingin menjadi orang kaya, terkenal dan berlimpah pujian seperti gambaran kehidupan para selebriti idolanya. Satu hal yang masih bisa dinilai wajar atau sebaliknya. Wajar karena mereka adalah pewarna utama kehidupan masa depan. Tanpa mimpi atau cita-cita, ibarat berjalan tanpa bekal peta dan rambu-rambu jalan. Melayang tak tentu arah, tabrak kiri-kanan, sruduk depan-belakang dan membahayakan diri serta orang lain. Dengan mimpi, bangsa Amerika Serikat ingin selalu jadi pesohor di segala bidang kehidupan.

Saat menorehkan catatan ini, ada satu hal yang sangat menarik pada status teman relawan muda PMI yang dikenal luas pergaulannya. Foto bertuliskan ekspresi nasionalisme ala gadis 18 tahun. Ketika ia bisa bermimpi, belajar, beraksi, percaya, buktikan dan cinta untuk Indonesia, Nova Dewi Lintang Kusuma Wijaya seolah ingin meyakinkan diri dan banyak orang untuk memahami keindonesiaannya. Meski dibayangi ketidakyakinan atas originalitas ekspresi itu, keberanian mengungkapkan di depan publik layak diapresiasi. Apalagi ada di tengah kegamangan bahwa nasionalisme alias paham kebangsaan Indonesia  kini (seolah)  berada di simpang jalan antara mondialisme dan sektarianisme.

Bermimpi seperti apa atau bagaimanakah Indonesia itu? Tanpa harus berbuat seperti ahli nujum, peramal atau mentalist; saya berusaha membuat gambaran kasar tentang Indonesia yang diimpikannya. Yakni satu bangsa yang warganya saling mengenal, menyapa hangat, bergotong royong dan bekerja keras dalam mewujudkan suasana aman, tentram, damai, bermartabat, maju, adil dan makmur. Selalu hadir saat-saat yang penuh dinamika dan kesetaraan. Indonesia yang memberi ruang luas untuk mengekspresikan beragam sisi kemanusiaan para warganya. Terus bergerak maju dalam menggapai puncak-puncak prestasi lokal, nasional maupun global tanpa perbedaan gender, status sosial dan sebagainya. Memanusiakan manusia sesuai fitrahnya sebagai mahluk dan pemimpin dunia.

Kesadaran bahwa manusia adalah mahluk yang paling mulia, berbekal akal untuk belajar mengenal diri dan lingkungan sekitar. Satu proses pembelajaran sepanjang hayat di kandung badan dan berlandaskan nurani agar saling mengasihi, tolong menolong dalam kebaikan serta membawa manfaat seluas samudera, sedalam lautan dan buat seluruh isi alam semesta. Sejarah untuk bercermin dan ilmu pengetahuan serta teknologi untuk bergerak maju. Indonesia yang terus belajar dari pengalaman agar kehidupan dapat terus berjalan dan kesaksian ditegakkan. Indonesia yang berwarna warni tapi tetap merah putih di setiap ujungnya. Manusia Indonesia yang saling menerangi kehidupan dan penghidupan. Bukan hanya belajar dari dan tentang kegelapan nurani yang banyak menghias keseharian akhir-akhir ini.

Belajar memaknai kebangsaan Indonesia yang sesungguhnya, dalam beragam warna dan rupa kehidupan. Mungkin juga untuk memuaskan rasa ingin tahu, mengapa Indonesia yang begitu kaya bak jamrud di katulistiwa masih banyak penduduknya yang fakir dan miskin harta benda, pengetahuan dan terutama mentalitasnya. Apa yang salah dan bagaimana cara memperbaiki? Dan belajar dari kehidupan adalah aksi, bukan sekadar teori atau omong kosong. Apalagi provokasi. Dengan belajar terus menerus untuk beragam pengetahuan dan pengalaman, aksi itu akan mendorong munculnya kreativitas dan inovasi. Proses pembaruan terus menerus tak kenal lelah serta batas ruang dan waktu dengan tetap berarah pada tujuan, cita-cita atau mimpi itu. Mimpi Indonesia (Indonesian Dream) sebagai manusia (bangsa) yang beradab dan bermartabat. Inilah ekspresi diri dan berharap juga menjadi ekspresi masyarakat luas.

Ekspresi diri seorang Relawan PMI yang senantiasa berlatih (pada kehidupan) dan memperbarui pengetahuan dan pengalaman agar memiliki kesempatan cukup untuk mewujudkan mimpi Indonesia itu. Luasnya lapangan pengabdian diri pada kemanusiaan universal sejatinya tidak menjadi faktor penghalang dan mengeliminasi nilai-nilai kebangsaannya. Justru sebaliknya, merupakan kekuatan pendorong dalam menjalankan aksi-aksinya bagi keluarga besar Indonesia. Karena berbekal kepekaan nurani yang terasah dalam menjalankan tugas dan kewajiban kemanusiaannya. Inilah hal mendasar bagi upaya memelihara martabat dan peradaban manusia yang sangat mungkin tidak dimiliki para relawan politisi yang banyak bermunculan di musim kampanye politik. Karena hakikat relawan itu bukan profesi, tapi ladang amal yang harus dipelihara dengan ilmu dan aksi (karya nyata) bagi masyarakat.


Dengan pemahaman tadi, sikap terbaik untuk menyatakan kecintaan kepada tanah air dan bangsa Indonesia dilandasi kepercayaan bahwa di sinilah kita hidup dan wajib menjunjung tinggi peradaban serta martabat manusianya. Dengan menjadi relawan kemanusiaan pada perhimpunan nasional kepalangmerahan Indonesia (PMI) kepercayaan itu hadir secara utuh. Berbakti pada ibu pertiwi dibuktikan dengan karya nyata di ladang amal kemanusiaan dalam beragam situasi. Ketika situasi aman, kita belajar dan berkarya nyata. Apalagi dalam suasana darurat kebencanaan, baik karena faktor alam maupun perilaku manusia yang tidak menghargai peradaban dan martabat manusia pada umumnya.

Semoga pemaparan pada catatan saya ini tidak keliru tafsir dalam memaknai kecintaan kita kepada tanah air dan bangsa Indonesia seperti dinyatakan Nova dalam status facebook-nya di atas. Ekpresi yang sarat pesan moral dan bahan pembelajaran. Jika ini adalah hasil perenungan sepanjang Ramadhan kemarin, berbahagialah dirinya mampu menggapai makna fitri . Dirgahayu Kemerdekaan Bangsa Indonesia  dan Palang Merah Indonesia ke 68.  

2 komentar:

  1. Keren Pak Ithong sayang itu bukan gambar tulisannya nova yg nova pajang :D
    Iseng2 browsing nemu kata2 itu.
    cocok buat menyambut kemerdekaan :D

    BalasHapus
  2. Nova keren juga, bisa ngasih inspirasi di saat tepat. Makasih ya.

    BalasHapus