Selasa, 19 Agustus 2014

Celoteh Sopir Minibus Gombong - Kebumen



Tak lama setelah upacara peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI ke 69 dan ketika di banyak tempat tengah mengadakan "pesta" atau kemeriahan lain, saya naik bis mini dari Kebumen kota menuju satu kecamatan yang lebih dikenal umum, Gombong. Sebenarnya, perjalanan yang biasa saja. Kalau ada yang bisa disebut luar biasa mungkin karena keadaan lalu lintas di jalan provinsi antara Jogja dan Brebes yang sering disebut jalur Selatan, kini dipadati kendaraan besar. Terutama truk dan tronton. Ini terjadi sejak Jembatan Kali Comal di Kabupaten Batang dan berada di jalur Pantai Utara (Pantura) tengah diperbaiki menyusul amblasnya jembatan itu beberapa saat sebelum Lebaran 2014 tiba.

Kepadatan lalu lintas hampir terjadi di semua jalur dan ruas jalan utama akhir-akhir ini. Baik sekelas jalan negara, provinsi maupun kabupaten/kota.  Beragam jenis kendaraan kecil (sepeda motor), sedang (sedan, kendaraan keluarga dan sejenisnya) serta besar (truk dan tronton) mudah ditemukan terutama pada jam-jam sibuk. Bahkan di gang dan lorong. Pemandangan yang di satu sisi menunjukkan gambaran tentang peningkatan volume atau kapasitas perekonomian umum. Karena kendaraan termasuk jenis kebutuhan sekunder atau lebih dari itu.

Meningkatnya volume kendaraan yang memadati jalan-jalan raya akhir-akhir ini sayangnya tergolong kendaraan pribadi. Tentu sepeda motor yang paling dominan. Dalam lima tahun terakhir, hampir semua rumah tangga punya satu atau lebih. Kebanyakan dari jenis bebek baik yang biasa atau manual maupun otomatik. Tapi bukan soal "pemandangan" yang jadi inti tulisan ini.

Supir kendaraan umum yang saya naiki saat itu tiba-tiba berceloteh. "Kebumen (kabupaten) itu kota atau wilayah mati. Tiga bupati tak mampu menyelesaikan sebuah rumah sakit. Karena 70% pendapatannya dari utang. Sulit bagi kami, "wong cilik" berkembang dan memperbaiki nasib kalau harus bertahan di rumah sendiri. Saya pernah jadi buruh migran di Malaysia selama beberapa tahun agar bisa menyekolahkan anak sampai SMA. Kini dua dari 4 anak ada di Jepang", sang sopir mengakhiri kalimatnya.

Sambil berjalan kaki menuju titik temu, saya coba menyarikan isi celotehan sang supir angkot tadi. Ada kegetiran di balik kebanggaan terhadap anaknya yang peluang hidup lebih baik meski harus berada di negeri orang. Ada dasar cukup kuat untuk menyatakan argumentasi di balik angka yang disodorkan. Ada pesimisme dari fakta yang berkembang. Ada apa lagi di balik semua yang diungkapkannya ....? 

Entah kali yang ke berapa, ungkapan senada saya dengar dari kalangan beragam. Kabupaten Kebumen memang memiliki banyak potensi dan "orang hebat" lahir di sini. Di lingkungan yang oleh almarhumah ibunda kami disebut lemah cengkah atau tanah liat. Satu ungkapan untuk merepresentasikan keadaan yang sangat sulit diolah jadi lahan subur selain untuk bahan membuat batu bata dan genteng yang beberapa tahun terakhir oleh penduduk sekitar lokasi produksinya disebut " penjual tanah air". Benarkah sebutan atau pomeo itu ?

Dari perbincangan serius tapi santai dengan berbagai kalangan yang punya kepedulian kuat memajukan wilayah ini dan bertahan dengan sikap mandirinya, ada satu kesamaan nada: minor ! Arahnya cukup jelas, budaya feodalistik yang tercermin dari perilaku para pemangku jabatan di lingkungan pemerintahan (dan politik tentunya). Indikasinya nampak pada tingginya minat jadi pegawai negeri sipil di satu sisi dan rendahnya minat jadi wirausaha karena tingkat kesulitan berkembang cukup tinggi. Wujudnya adalah komposisi APBD dengan perbandingan yang sangat timpang antara belanja pegawai dan rutin yang berkisar 70% dibanding belanja pembangunan 30%. Sementara itu, pendapatan asli daerah (PAD) belum mampu melampaui tingkat kemiskinan daerah yang rata-rata dalam lima tahun terakhir masih di atas 20% (data dan informasi kemiskinan Jawa Tengah 2008-2012 - BPS Jateng).

Ketika data, fakta dan pomeo disandingkan nampak terbentang benang merah. Celoteh sang sopir minibus Gombong - Kebumen bukan bualan semata (jermong - jere omonge). Banyaknya jumlah PNS, khususnya guru yang telah mendapatkan sertifikasi, memang meningkatkan volume perekonomian. Tapi sebatas kegiatan konsumtif, belum produktif. Mobil dan sepeda motor seri terbaru yang mudah ditemui di jalanan adalah fakta lain yang menguatkan. Revitalisasi pasar-pasar tradisional dan sejumlah gedung pemerintahan yang ditopang sumber dana APBN membuat wajah kota Kebumen yang terasa sepi setelah jam 8 malam kecuali di alun-alun. Lalu di mana letak ketimpangan pembangunan yang direpresentasikan dengan keberadaan RSUD itu ?

Dari hasil lomba Riset Unggulan Daerah (RUD) 2013 pada sub tema OVOP Kerajinan Pandan misalnya, sampai saat ini belum nampak ada gregetnya. Para anggota cluster anyaman pandan di sekitar Kecamatan Karanganyar dan Karanggayam masih berkutat dengan masalah klasikal kelangkaan sumber dana, kualitas sumber daya manusia dan akses informasi pasar yang memadai. Kearifan lokal yang ada di dalamnya belum mampu mengatasi masalah internal keberpihakan pihak-pihak kompeten dan praktik "mafia ekspor" yang konon didominasi oleh para pelaku bisnis yang hanya memburu rente ekonomi. 

Tak keliru jika pelaku wirausaha sosial sekelas Irma Suryati mengeluhkan minimnya minat dan lahan garap pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang di tahun 2014 ini jadi satu tema RUD ketika kami berbincang tentang peluang pengembangannya di sela pelaksanaan Bazar Relawan dan Potensi Kreatif Rakyat dalam arena Karya Bakti untuk Negeri 2014 di halaman parkir STIKes Muhammadiyah Gombong 11 -16 Agustus 2014 yang sepi pengunjung dan respon instansi pemerintah itu ...?. Entahlah. Yang jelas, kegiatan yang sebenarnya dimaksudkan untuk mewujudkan diseminasi ekonomi kreatif di Kabupaten Kebumen ini memang menimbulkan kerugian baik materiil maupun moril pengelolanya. Dan celoteh sopir minibus Gombong - Kebumen bukan jermong, omdo atau sebutan sejenis.          

0 komentar:

Posting Komentar