Beberapa hari lagi Bangsa
Indonesia akan memperingati satu peristiwa monumental yang selalu
diselenggarakan dengan upacara di berbagai tempat. Mulai Istana Negara,
alun-alun dan berbagai lapangan besar atau kecil, halaman-halaman sekolah dan lain-lain
lingkungan masyarakat. Bahkan para pecinta alam memanfaatkan momentum ini untuk
menunjukkan betapa pentingnya membentangkan sang saka Merah Putih di
puncak-puncak gunung, menyelam di laut dalam dan banyak pilihan tempat atau
suasana lainnya.
Meski dengan cara, maksud, tujuan
serta alasan yang boleh jadi sangat
beragam, tapi ada satu kesamaan yakni ingin memberi warna tertentu bagi hari
pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Warna Kebangsaan
Indonesia yang saat ini masih banyak berhias suasana kelam, abu-abu atau lainnya.
Suasana yang sangat bertolak belakang dengan masa-masa perjuangan merebut dan
mempertahankannya dari genggaman tangan penjajah asing. Suasana yang sangat
kental dengan heroisme dan nasionalisme. Apakah ini pertanda terjadinya
degradasi nilai atas kedua hal tadi ?
Pergeseran nilai kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara sebenarnya merupakan suatu keniscayaan bagi Indonesia
yang terdiri dari beragam suku bangsa dan budaya. Hal yang diharapkan tentu
saja munculnya kesadaran untuk menguatkan peradaban dan keadaban. Karena bangsa
yang memiliki peradaban kuat akan mampu menghadapi perubahan yang pasti terjadi
ke arah yang lebih positif. Demikian juga sebaliknya. Satu bangsa akan
terjerumus dalam kehinaan ketika perubahan keadaan yang terjadi lebih banyak
menonjolkan hal-hal yang negatif.
Sepanjang waktu pasca Bangsa
Indonesia berjuang meraih dan menegakkan kemerdekaan, semakin banyak peristiwa
yang menunjukkan bahwa pergeseran nilai kemanusiaan yang adil dan beradab
cenderung mengarah pada sisi negatif. Konflik sosial dan politik seolah tanpa
ada penyelesaian memadai baik secara substantif maupun parsial. Dalam panggung
politik khususnya, kebanyakan pemimpin tak pernah memberi contoh yang
menunjukkan bahwa sikap kenegarawanan adalah cara paling beradab dan modern
dalam menyelesaikan konflik itu. Bahkan sebaliknya, terlalu menonjolkan
sektarianisme yang berbungkus aneka rupa perilaku narsistis. Akibatnya, setiap
terjadi konflik sosial maupun politik secara nasional, dapat dipastikan
berdampak dendam kesumat dari pihak yang menjadi korbannya.
Perilaku kenegarawanan justru
muncul dari kalangan pemimpin informal dan perguruan tinggi tententu. Selain Bung Hatta yang bertahan dengan
idealisme politik non partisan, sangat sulit menemukan sosok yang sebanding
dengan Proklamator dan penggagas Siasat Ekonomi ini. Apalagi di atasnya. Para
pemimpin politik dari perguruan tinggi dan organisasi-organisasi sosial yang
semula menampakkan perilaku positif, ketika masuk dalam lingkaran kekuasaan
formal tak mampu lagi mempertahankannya sebagai upaya melakukan perubahan
internal. Entah karena gamang, tak lagi punya nyali atau kuatnya faktor
kontaminatif di dalam lingkungan baru, mereka seperti kehilangan daya.
Akhirnya, masyarakat awam kembali harus menelan kekecewaan dan begitu
seterusnya dalam setiap pergantian kepemimpinan nasional.
Partai politik yang seharusnya
berperan utama sebagai pusat pendidikan
politik masyarakat dalam hal perilaku kenegarawanan dan wawasan kebangsaan tak
pernah beranjak dari posisinya sebagai alat kekuasaan kelompok orang
tertentu saja. Kelompok itu lebih sering menampakkan perilaku feodalistik ketimbang
demokratik sebagaimana diamanatkan oleh isi Mukadimah UUD 1945. Kesetiaan buta
terhadap sekte-sekte politik yang dianut para elit pemimpinnya. Bukan kesetiaan pada tujuan perjuangan bangsa
Indonesia yang berujung pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
*****
Dalam beberapa catatan
sebelumnya, saya menyoroti dua hal tema besar yakni diaspora Indonesia dan relawan kemanusiaan. Pada tema diaspora
Indonesia, banyak hal menarik yang patut diangkat menjadi bahan pembelajaran
bersama selaku bangsa beradab. Mereka yang merasa punya keterikatan dengan sejarah dan
budaya Indonesia dan berkehidupan di berbagai belahan dunia dan beragam
profesi, ingin menunjukkan diri kepada orang-orang, lembaga dan sejumlah pihak
di tanah lahir, tanah air atau kampung halaman Indonesia bahwa keberadaannya selayaknya
tetap diakui sebagai bagian dari Indonesia. Indonesia yang bisa berarti wilayah
kekuasaan suatu negara, satu suku bangsa atau sisi unik yang hanya bisa
dijelaskan dengan rasa. Cinta tanah
air dan ragam budaya yang tak hanya indah dipandang, tapi juga nyaman
disandang. Kenyamanan yang hanya dapat dirasakan oleh orang-orang mapan secara ekonomi dan sosial yang diperoleh dari
proses pencapaian pribadi berkarakter. Memenangi pertarungan pribadi di bawah bayang-bayang muram inferioritas
masyarakat umum di tanah lahir atau kampung halaman Indonesia.
Menyandang atribut keindonesiaan yang
sering dilanda konflik sosial dan politik bukan hal mudah dalam
berperikehidupan di manca negara. Hal itu tercermin dalam perlakuan pemerintah
dan mungkin juga masyarakat setempat kepada para TKI di Malaysia misalnya.
Sementara itu, nasib yang lebih baik dialami oleh orang-orang yang memiliki
kemampuan profesional yang memadai seperti para ahli, teknisi, dosen dan
sebagainya. Contohnya, Hadi Nur, seorang profesor kimia muda usia (44
tahun) dari Ranah Minang yang jadi staf pengajar di Universiti Teknologi Malaysia. Sebelum itu, Dr. Sadono Sukirno dari Universiti Kebangsaan Malaysia menyusun buku diktat utama Ekonomi Pembangunan bagi para mahasiswa ilmu ekonomi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia tahun 1980-an.
Prof. Hadi Nur dan Mayor Edward Moehito Redjopawiro (Suriname)
Dua orang diaspora Indonesia di atas adalah satu contoh kecil betapa berharganya para intelektual Indonesia di manca negara. Sebagaimana dipaparkan dalam tulisan Prof. Hadi Nur itu, banyak yang bertalian dengan sejarah dan budaya Indonesia telah menjadi orang sukses secara sosial, ekonomi maupun politik di Malaysia tetap mempertahankan budaya asalnya. Bahkan seorang Dato' Sri Haji Mohammad Najib bin Tun Haji Abdul Rajak yang saat ini menjabat sebagai Perdana Menteri Malaysia adalah keturunan Sultan Gowa. Satu kerajaan besar di bumi Sulawesi dan tersohor pada masanya. Jadi, mengapa kita meradang ketika batik dan beberapa jenis artefak budaya Indonesia diklaim oleh warga Malaysia yang mungkin saja ia adalah diaspora Indonesia ? Nasionalisme sempit-kah yang menjadi penyebab utama seperti dikatakan Indah Morgan yang kini menjadi Ketua Satuan Tugas Imigrasi dan Kewargaan negara pada Kongres Diaspora Indonesia II ketika diwawancarai oleh Radio Australia beberapa waktu lalu ?
Boleh jadi memang demikian faktanya di Indonesia. Masyarakat Indonesia di dalam negeri akhir-akhir ini sangat mudah diprovokasi dengan jargon dan yel-yel nasionalisme terutama di bidang olahraga, khususnya sepakbola. Kita tahu bahwa sejak dua dasawarsa terakhir, prestasi olahraga yang diklaim sebagai yang terbesar penggemarnya sangat labil dan cenderung menurun. Melalui promosi dan pendekatan bisnis yang tentunya bertiras ratusan milyar, penonton televisi dari berbagai golongan usia begitu fanatik dengan olahraga ini. Yang hebat, meski organisasi (induk) cabang ini terus dilanda konflik sektarian dan mengorbankan banyak potensi nasional, dengan mengusung jargon dan yel-yel nasionalisme tadi stadion Gelora Bung Karno tak pernah kekurangan penonton saat tim nasional bertanding untuk event resmi maupun persahabatan.
Di jaman Bung Karno berkuasa pernah muncul jargon Ganyang Malaysia karena disinyalir sebagai agen imperialisme Barat, terutama Inggris yang pernah menjajahnya. Kala itu belum ada saluran televisi internasional dan internet yang dapat dengan mudah memberi warta aktual kejadian sesuangguhnya pada saat itu juga (real time news). Hanya ada siaran radio yang tingkat penyebarannya juga sangat sempit. Di sisi lain, selaku orator ulung, Bung Karno sangat piawai mengemas suasana kejiwaan masyarakat Indonesia yang tengah menguatkan jati diri sebagai bangsa merdeka dengan jargon -jargon revolusioner. Tapi ada hal yang nampaknya kurang diperhitungkan dengan cermat oleh beliau bahwa ada sebagian orang tengah mengincar peluang mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok dari suasana itu. Mereka justru ada di sekitar lingkungan kekuasaan Pemimpin Besar Revolusi tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar