Rabu, 14 Agustus 2013

[TETAP] Menjadi Indonesia


Ada sebagian orang Indonesia tak lagi percaya pada kekuatan nasionalisme. Banyak kemungkinan yang melatar-belakangi pandangan atau sikap ini. Pertama, jika nasionalisme adalah atributif. Hanya diukur dari atribut seperti pemasangan pin atau bendera merah putih mini di baju seragam. Juga yel-yel para suporter sepakbola atau cabang olahraga lain yang tengah bertanding di satu arena internasional. Memang tidak salah menyatakan kecintaan pada bangsanya dengan cara-cara semacam itu jika diiringi sikap sportif dan bertanggung-jawab. Apapun hasilnya, kalah atau menang di arena pertandingan, harus diterima dengan lapang dada. Tak ada caci maki buat siapapun. Apalagi merendahkan martabat manusia. Harus ada pemahaman yang benar tentang isi nasionalisme, bukan bentuk yang ditonjolkan.

Jika para pemimpin formal dan pejabat publik melakukan kesalahan tanpa berani dan jujur mengakuinya, maka yang harus bertanggung-jawab atas hal itu adalah orang seorang tanpa menyebutnya sebagai oknum. Penyebutan oknum yang selama ini digunakan untuk menegaskan bahwa kedudukannya sebagai anggota lembaga pemerintah atau publik hanya menumbuhkan sinisme karena perbuatan yang dilakukannya sangat mungkin tidak sendirian. Singkat kata, penyederhanaan dengan mengeliminasi peran atau sebaliknya perumitan masalah dengan membawa serta kambing hitam dan/atau domba adu adalah upaya pengecut yang dari pemimpin yang ingin melarikan diri dari tanggung jawabnya. Banyak sekali contoh ini dalam kasus korupsi dan penyimpangan perilaku seksual yang dilakukan oleh para politisi dan pejabat publik dalam beberapa tahun terakhir. 

Jika para pemimpin formal dan pejabat publik yang kebanyakan diisi oleh para politisi berani bertanggung-jawab atas perbuatan bawahan atau anggota organisasinya serta jujur atas kelemahan dirinya, sinisme publik yang berimbas pada menguatnya frustasi sosial akan dapat dieliminasi dan dicegah - tangkal dampak negatifnya secara dini sebelum berubah menjadi bencana. Cara yang biasa dilakukan oleh para pemimpin di negara maju peradaban dan sosialnya nampaknya kurang menarik dibanding membawa domba adu atau kambing hitam. Gambaran puitis keadaan di atas nampak pada lirik lagu di bawah ini.       

Menjadi Indonesia

Ada yang memar, kagum banggaku
Malu membelenggu
Ada yang mekar serupa benalu
Tak mau temanimu
Lekas,
Bangun dari tidur berkepanjangan
Menyatakan mimpimu
Cuci muka biar terlihat segar
Merapikan wajahmu
Masih ada cara menjadi besar
Memudakan tuamu
Menjelma dan menjadi Indonesia
Ada yang runtuh, tamah ramahmu
Beda
Teraniaya


Ada yang tumbuh, iri dengkimu
Cinta pergi kemana?

Memudakan tuamu
Menjelma dan Menjadi Indonesia      

Lirik lagu yang dibawakan oleh kelompok Efek Rumah Kaca ini sarat pesan filosofis. Memar adalah luka akibat benturan ringan, mengapa harus dikagumi atau malah dibanggakan?  Seringan apapun luka itu, rasa sakit tak terhindarkan. Orang yang merasa bangga dan kagum akan rasa sakit tentu memiliki kekhususan. Entah berupa tebal kulit atau mengidap kelainan biologis dan psikologis. Jika di tangan, kaki atau anggota tubuh selain muka, boleh jadi akan menumbuhkan kekaguman dan patut dibanggakan. Tapi tidak untuk muka yang tebal itu tak lagi punya rasa malu. Apalagi kasih sayang dan ramah tamah. Sisi yang membedakan manusia dan binatang. Atau memang begitu keadaan yang dialami orang kebanyakan ? 

Banyak yang menyerupai benalu, hidup di atas penderitaan orang lain yang perlahan tapi pasti ajal akan menjemput setelah isi kehidupannya diambil paksa. Setangkali benalu kecil saja cukup untuk mematikan sebuah pohon besar. Jika pohon itu adalah Indonesia, siapa benalunya? Fakir miskin atau orang-orang terlantar kah? Atau sebaliknya, orang-orang kaya yang berperilaku miskin. Juga yang berkuasa terhadap kaum lemah? Mungkin, bahkan amat sangat mungkin sekali gambaran itu buat kaum yang bertebal muka. Bagi mereka, malu bukanlah tabu. Mengumbar nafsu binatang tak perlu ragu. Menghisap kehidupan orang lain untuk menghidupi diri dengan cara mematikan yang lain adalah cara yang sah-sah saja. Dan kini benalu itu tengah mekar, tumbuh berkembang di segala sisi kehidupan.

Pohon besar Indonesia akhir-kahir ini memang tampak semakin layu, tak bertenaga mumpuni akibat banyaknya sari kehidupan disantap benalu yang tumbuh subur ke berbagai penjuru. Siapakah para benalu itu ? Para koruptorkah yang diuntungkan oleh para penegak hukum yang  tak lagi mengindahkan keadilan. Bukankah sejatinya keadilan itu sebagai wujud peradaban manusia modern dalam memaksimalkan upaya untuk menggapai kesejahteraan sosial ?   

Dalam perjalanan kebangsaan Indonesia sejak jaman patih Gadjahmada berupaya menyatukan nusantara sampai kini di jaman serba instan, masalah integrasi nasional masih terganjal oleh perilaku egosentris "raja-raja kecil", para pemimpin suku, sekte-sekte politik, dan berbagai pembawa potensi konflik lainnya. Mereka, ibarat benalu bagi keutuhan dan kewibawaan negeri yang menumpang hidup dan mematikannya secara perlahan. Mereka ada di mana-mana, khususnya di pusat-pusat kekuasaan politik, ekonomi, sosial, budaya atau agama. Jika kedok mereka diketahui, serta merta muncul beragam alasan yang menampik temuan itu. Entah dengan menghadirkan kambing hitam atau domba aduan.  

Keadaan negeri Indonesia yang semula kaya ragam budaya dan sumber daya alam kini masih digolongkan miskin ekonomi dan sosialnya. Konflik sosial dan politik seolah jadi pemandangan dan berita harian. Tak ada satupun yang mampu diselesaikan secara tuntas. Bung Karno yang diangkat sebagai Pemimpin Besar Revolusi justru jadi korban utama. Peristiwa pembunuhan massal yang dinilai melebihi kekejaman rezim Pol Pot tak pernah mampu diungkap jelas pelaku dan motifnya. Konflik politik tahun 1965 yang banyak diliputi ketidakjelaskan pihak yang paling bertanggung-jawab atas tragedi kemanusiaan itu tak pernah diselesaikan secara tuntas baik secara politik, hukum maupun sosial selain meninggalkan bekas-bekas luka yang sangat dalam bagi korbannya. Demikian pula dengan kasus 27 Juli 1996 dan kerusuhan Mei 1998. Negara dinilai tak mampu melindungi warganya. Karena pemerintah selaku penyelenggara negara hanya membela diri atas segala kesalahan yang dilakukan tanpa pernah ada permintaan maaf kepada keluarga korban serta masyarakat umum selain terus mencari kesalahan pihak lain dan menebar trauma sosial.



Menjadi diaspora mungkin bukan pilihan utama, apalagi bagi orang-orang Indonesia yang cenderung mengedepankan faktor kekerabatan dan kedekatan kultural. Hal ini bisa ditelusur dari pepatah "lebih baik hujan batu di negeri sendiri, dari pada hujan emas di negeri lain". Tapi tak mudah diwujudkan ketika harus dihadapkan pada situasi dilematis yang muncul dari konflik sosial maupun politik tak berujung jelas.

Ada cerita dari almarhumah ibu kandung kami tentang keluarga diaspora yang satu anggota keluarganya kini sering menjadi sorotan publik dunia.  Ketika beliau dipanggil menghadap Kepala Sekolah Guru Putri (SGP) Yogyakarta yang ternyata adik kandung dr. Soetomo di awal Juli 1946, Atiatoen tak pernah menyangka akan dipilih sebagai wakil sekolah untuk mendapat latihan dasar kemiliteran di Militaire Academie (MA) Kotabaru bersama dua kakak adik dari Semarang. Namanya Retno Sriningsih dan Retno Triningsih. Hampir setengah abad kemudian, beliau baru mengetahui bahwa kedua saudara itu adalah keluarga orang terkenal. Retno Sriningsih punya anak bernama Sri Mulyani Indrawati yang kemudian dikenal sebagai dosen dan pengamat ekonomi handal dari Universitas Indonesia sebelum diangkat sebagai Menteri Keuangan pada Kabinet Indonesia Bersatu yang pertama yang dan membuat dirinya dipilih media internasioan sebagai Menteri Keuangan Terbaik se Asia serta masuk dalam jajaran 100 wanita paling berpengaruh di dunia mengalahkan popularitas Menlu AS Hillary Clinton. Setelah mundur dari jabatan sebagai Menteri Keuangan karena lebih memilih jadi Managing Director World Bank. Sementara itu, Retno Triningsih tinggal di Australia dan menjadi diaspora.

Banyak kisah lain dari beragam orang Indonesia dan asing yang mengapresiasi Indonesia karena keluhuran sejarah dan budayanya. Mereka, para diaspora Indonesia, adalah orang-orang yang (senantiasa ingin) memahami Indonesia dari sisi positifnya. Membuang jauh sinisme dan trauma sosial. Berbuat yang membawa manfaat bagi tanah leluhur, tanah air atau kampung halamannya. Mengajak orang-orang di dalam negeri agar terus berpikir positif untuk memajukan negeri serta melakukan berbagai upaya bersama untuk menyelesaikan masalah ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi di Indonesia.

Para diaspora Indonesia membawa banyak bekal: dana, ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman serta mentalitas kelas dunia dan akses ke berbagai sumber potensial dari seluruh dunia ke kampung halaman Indonesia pada berbagai kesempatan yang satu puncaknya akan dibuktikan dalam Kongres Diaspora Indonesia (Congress of Indonesian Diaspora atau CID) ke 2 di Jakarta beberapa hari mendatang. Banyak peluang yang harus dimanfaatkan oleh kita untuk memperbaiki dan memajukan negeri Indonesia di masa-masa mendatang. Mari kita wujudkan mimpi Indonesia    

0 komentar:

Posting Komentar