Alm. Ibu Atiatoen saat peresmian monumen dan jalan Tentara Pelajar Kebumen Nov. 2000 |
Kita
seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan yang nampak sulit ketika tengah
mengalami masalah. Terutama yang
menyangkut kemaslahatan, tentang banyak orang dengan beragam karakter. Pilihan
antara menjadi pemimpin dan orang tua bagi sejumlah relawan PMI yang tengah
bergairah memperbaiki keadaan organisasi agar sesuai dengan maqom-nya adalah satu diantaranya.
Memelihara satu komitmen yang disepakati dalam satu permusyawaratan kecil dan
terbatas adalah satu tanggung-jawab yang lebih besar dari pada sebuah hak yang
acapkali dimaknai secara fisikal. Bentuk luar suatu gelombang pemikiran dan
perasaan yang mungkin saja bersifat sepihak.
Begitu juga
dalam menentukan sikap selaku pemimpin yang digambarkan sebagai sosok tegas dan
lain-lain persepsi. Tidak salah tapi mungkin saja keliru. Karena menjadi orang
tua dari banyak anak yang berbeda karakter, orientasi sosial dan kapasitas
individualnya bukan hal yang mudah. Apalagi dengan rentang pengetahuan dan
pengalaman yang cukup jauh. Gambaran itulah yang saya alami ketika harus
menentukan pilihan di atas.
***
Pada tulisan
sebelumnya, Kecil itu Indah – (Coba)
Memahami Realita, telah dijelaskan secara ringkas tentang posisi menjadi
guru di sekolah yang pernah mewarnai kehidupan pribadi saya semasa remaja yang
secara aktual tengah mengalami masa-masa sulit. Sepanjang hidup, saya tak
pernah punya gambaran akan menjadi guru formal. Berdiri di depan kelas,
menyampaikan materi, berinteraksi dengan peserta didik (siswa) dan guru lain
serta semua orang maupun beragam aspek yang ada dalam proses belajar mengajar
di sekolah tersebut. Tidak pernah tahu perbedaan antara guru kurikulum dan
inspiratif. Yang saya tahu, guru adalah
manusia yang dimuliakan kedudukannya di atas manusia lain di hadapan Tuhan
Yang Maha Pencipta karena kemampuannya menyebarkan pengetahuan (ilmu).
Pemahaman di
atas tak terlepas dari pengalaman hidup sebagai anak seorang guru SD yang
pernah ikut serta dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan bangsa Indonesia
lewat Tentara Pelajar. Melihat, merasakan dan bersikap dalam keseharian bersama
almarhumah ibu kandung yang senantiasa mengedepankan sikap merdeka (mandiri), jujur, berani dan tegas. Sifat dan sikap yang tak disukai banyak orang
di lingkungan formalnya. Karena sikap ini pula beliau sering mengalami
diskriminasi : ditunda kenaikan pangkat, dinyatakan tidak lulus uji dan
lain-lain perlakuan yang sekarang popular dengan sebutan KKN ( korupsi, kolusi
dan nepotisme). Sampai akhir hayat
beliau (2010), sikap itu tetap dipelihara dengan segenap daya. Di antara banyak
murid beliau yang menjadi guru di berbagai tingkatan pendidikan, sering muncul
sebutan mahaguru atau bethara
guru buat almarhumah. Sebutan yang mungkin merupakan penghargaan atau
sejenisnya, tapi tetap tak mengubah sikap saya yang mendampingi beliau di
hampir sepanjang usia.
Pemimpin,
orang tua dan guru adalah tiga komponen penting dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Pemimpin pada dasarnya melekat pada setiap manusia
sebagai mahluk yang dimuliakan oleh Sang Khalik. Dalam praktik, di kehidupan
nyata, tidak semua manusia mampu memelihara kemuliaan itu. Satu faktor utama
yang banyak mempengaruhi adalah kehilangan daya dalam memelihara sikap merdeka
dan jujur. Mengapa begitu?
Manusia yang
kehilangan daya mempertahankan kemerdekaannya tidak berbeda kedudukan dirinya
sebagai budak. Budak nafsu misalnya, adalah orang yang dikuasi oleh nafsunya sehingga
kehilangan sikap-sikap positif manusia yang membedakannya dari binatang atau
mahluk lain ciptaanNya. Terutama nurani yang menjadi ciri khas manusia. Budak
adalah manusia terjajah. Dengan kata lain, manusia yang menjadikan atau
menyediakan dirinya sebagai budak adalah manusia yang tidak mandiri. Menyerupai benalu
yang hidupnya bergantung pohon induk.
Saat ini,
ketika banyak muncul kecenderungan mengagungkan diri atau kelompoknya, tidak
sedikit warga masyarakat Indonesia merasa kehilangan daya untuk menghadirkan
pemimpin yang mampu mengarahkan jalan untuk menggapai cita-cita kemerdekaan
bangsa. Yakni suatu tata kehidupan yang mampu menyelenggarakan keadilan sosial.
Karena sosok yang muncul adalah para penguasa. Bukan pemimpin yang melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Baik dalam skala kecil
semacam desa, kampung atau sejenisnya, maupun seluruh ruang lingkup wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendidikan
adalah faktor utama dalam memelihara daya merdeka, mencerdaskan kehidupan
bangsa. Proses penyelenggaraan pendidikan tetap merupakan porsi terbesar
pemerintah selaku penyelenggara negara sesuai amanat Undang Undang Dasar 1945. Kegagalan
dalam proses ini akan berdampak sangat besar dalam upaya menggapai cita-cita
kemerdekaan sebagai negara yang berkeadilan sosial. Dan manajemen
(penyelenggaraan) pendidikan tidak sebatas penyediaan kurikulum. Karena di
dalamnya terdapat aspek pelaksanaan dan pengendalian yang berujung pada output atau hasil yang tetap berpijak
pada pemaknaan atas kemerdekaan bangsa Indonesia.
Dari
pemahaman di atas, saya merasa menemukan lahan pengabdian yang sesuai dengan amanat
almarhumah ibu dan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia di almamater saat
ini. Amanat itu ada di catatan harian
beliau semasa akan mengabdi di lahan kering,
dunia pendidikan yang berkarakter keindonesiaan. Isinya “ pelan tapi pasti, bukan yang banyak itu
baik, tapi yang baik pastilah yang banyak. Berbekal niat mengamalkan
ilmu, benih-benih keindonesiaan akan terus saya coba tebarkan di setiap langkah
kehidupan. Di dalam keluarga, sekolah, Kampoeng
Relawan dan masyarakat umum. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa
menguatkan langkah ini. Amien.
Tulisan ini dimuat juga di sini.
0 komentar:
Posting Komentar