Kamis, 22 Agustus 2013

Kecil itu Indah - Menebar Benih di Lahan Kering

Alm. Ibu Atiatoen saat peresmian monumen
dan jalan Tentara Pelajar Kebumen Nov. 2000

Kita seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan yang nampak sulit ketika tengah mengalami masalah. Terutama yang menyangkut kemaslahatan, tentang banyak orang dengan beragam karakter. Pilihan antara menjadi pemimpin dan orang tua bagi sejumlah relawan PMI yang tengah bergairah memperbaiki keadaan organisasi agar sesuai dengan maqom-nya adalah satu diantaranya. Memelihara satu komitmen yang disepakati dalam satu permusyawaratan kecil dan terbatas adalah satu tanggung-jawab yang lebih besar dari pada sebuah hak yang acapkali dimaknai secara fisikal. Bentuk luar suatu gelombang pemikiran dan perasaan yang mungkin saja bersifat sepihak. 

Begitu juga dalam menentukan sikap selaku pemimpin yang digambarkan sebagai sosok tegas dan lain-lain persepsi. Tidak salah tapi mungkin saja keliru. Karena menjadi orang tua dari banyak anak yang berbeda karakter, orientasi sosial dan kapasitas individualnya bukan hal yang mudah. Apalagi dengan rentang pengetahuan dan pengalaman yang cukup jauh. Gambaran itulah yang saya alami ketika harus menentukan pilihan di atas.
***

Pada tulisan sebelumnya, Kecil itu Indah – (Coba) Memahami Realita, telah dijelaskan secara ringkas tentang posisi menjadi guru di sekolah yang pernah mewarnai kehidupan pribadi saya semasa remaja yang secara aktual tengah mengalami masa-masa sulit. Sepanjang hidup, saya tak pernah punya gambaran akan menjadi guru formal. Berdiri di depan kelas, menyampaikan materi, berinteraksi dengan peserta didik (siswa) dan guru lain serta semua orang maupun beragam aspek yang ada dalam proses belajar mengajar di sekolah tersebut. Tidak pernah tahu perbedaan antara guru kurikulum dan inspiratif. Yang saya tahu, guru adalah manusia yang dimuliakan kedudukannya di atas manusia lain di hadapan Tuhan Yang Maha Pencipta karena kemampuannya menyebarkan pengetahuan (ilmu).

Pemahaman di atas tak terlepas dari pengalaman hidup sebagai anak seorang guru SD yang pernah ikut serta dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan bangsa Indonesia lewat Tentara Pelajar. Melihat, merasakan dan bersikap dalam keseharian bersama almarhumah ibu kandung yang senantiasa mengedepankan sikap merdeka (mandiri), jujur, berani dan tegas.  Sifat dan sikap yang tak disukai banyak orang di lingkungan formalnya. Karena sikap ini pula beliau sering mengalami diskriminasi : ditunda kenaikan pangkat, dinyatakan tidak lulus uji dan lain-lain perlakuan yang sekarang popular dengan sebutan KKN ( korupsi, kolusi dan nepotisme). Sampai  akhir hayat beliau (2010), sikap itu tetap dipelihara dengan segenap daya. Di antara banyak murid beliau yang menjadi guru di berbagai tingkatan pendidikan, sering muncul sebutan mahaguru  atau bethara guru buat almarhumah. Sebutan yang mungkin merupakan penghargaan atau sejenisnya, tapi tetap tak mengubah sikap saya yang mendampingi beliau di hampir sepanjang usia.

Pemimpin, orang tua dan guru adalah tiga komponen penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pemimpin pada dasarnya melekat pada setiap manusia sebagai mahluk yang dimuliakan oleh Sang Khalik. Dalam praktik, di kehidupan nyata, tidak semua manusia mampu memelihara kemuliaan itu. Satu faktor utama yang banyak mempengaruhi adalah kehilangan daya dalam memelihara sikap merdeka dan jujur. Mengapa begitu?

Manusia yang kehilangan daya mempertahankan kemerdekaannya tidak berbeda kedudukan dirinya sebagai budak. Budak nafsu misalnya, adalah orang yang dikuasi oleh nafsunya sehingga kehilangan sikap-sikap positif manusia yang membedakannya dari binatang atau mahluk lain ciptaanNya. Terutama nurani yang menjadi ciri khas manusia. Budak adalah manusia terjajah. Dengan kata lain, manusia yang menjadikan atau menyediakan dirinya sebagai budak adalah  manusia yang tidak mandiri. Menyerupai benalu yang hidupnya bergantung pohon induk.

Saat ini, ketika banyak muncul kecenderungan mengagungkan diri atau kelompoknya, tidak sedikit warga masyarakat Indonesia merasa kehilangan daya untuk menghadirkan pemimpin yang mampu mengarahkan jalan untuk menggapai cita-cita kemerdekaan bangsa. Yakni suatu tata kehidupan yang mampu menyelenggarakan keadilan sosial. Karena sosok yang muncul adalah para penguasa. Bukan pemimpin yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Baik dalam skala kecil semacam desa, kampung atau sejenisnya, maupun seluruh ruang lingkup wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pendidikan adalah faktor utama dalam memelihara daya merdeka, mencerdaskan kehidupan bangsa. Proses penyelenggaraan pendidikan tetap merupakan porsi terbesar pemerintah selaku penyelenggara negara sesuai amanat Undang Undang Dasar 1945. Kegagalan dalam proses ini akan berdampak sangat besar dalam upaya menggapai cita-cita kemerdekaan sebagai negara yang berkeadilan sosial. Dan manajemen (penyelenggaraan) pendidikan tidak sebatas penyediaan kurikulum. Karena di dalamnya terdapat aspek pelaksanaan dan pengendalian yang berujung pada output atau hasil yang tetap berpijak pada pemaknaan atas kemerdekaan bangsa Indonesia.


Dari pemahaman di atas, saya merasa menemukan lahan pengabdian yang sesuai dengan amanat almarhumah ibu dan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia di almamater saat ini.  Amanat itu ada di catatan harian beliau semasa akan mengabdi di lahan kering, dunia pendidikan yang berkarakter keindonesiaan.  Isinya “ pelan tapi pasti, bukan yang banyak itu baik, tapi yang baik pastilah yang banyak. Berbekal niat mengamalkan ilmu, benih-benih keindonesiaan akan terus saya coba tebarkan di setiap langkah kehidupan. Di dalam keluarga, sekolah, Kampoeng Relawan dan masyarakat umum. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa menguatkan langkah ini. Amien. 
Tulisan ini dimuat juga di sini.

0 komentar:

Posting Komentar