Jumat, 23 Agustus 2013

Kecil Itu Indah – Pengalaman Pertama Menjadi Guru

Penjual layang2 di atas sungai Krasak Kebumen

Dalam perbincangan dengan istri yang pernah menjadi guru formal di Jawa Timur sebelum menikah, saya menanyakan kemungkinan menerima permintaan Ibu Yosephine FW selaku kepala sekolah di SMA tempat saya belajar saat remaja menjelang dewasa. Dengan gaya khas, memancing reaksi pribadi, ia mengatakan bahwa untuk menjadi pengajar atau pendidik tidak tertutup kemungkinan itu. Belajar dan menguasai materi cukuplah sebagai bahan dasar untuk hal itu. Pengalaman selama ini menjadi pelatih dan motivator bagi teman-teman relawan PMI, perajin maupun yang lain bisa menguatkan. Tapi untuk menjadi guru yang memahami dunianya, saya perlu banyak berinteraksi dan menemukan gagasan-gagasan baru untuk mendekatkan diri pada dunia keguruan. Apalagi mendekati kemampuan almarhumah ibu yang tak pernah lepas dari dunia keguruan meski telah pensiun lebih dari seperempat abad.

Ada satu hal yang menggelitik pikiran ketika saya tengah bersiap melakukan tugas keilmuan, mengamalkannya kepada para peserta didik yang kebanyakan berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi dan sosial. Pada kesempatan awal, kebetulan ada teman guru yang sudah cukup lama berada di lingkungan ini. Dengan nada bergurau, sang teman mengatakan bahwa kita seperti guru privat atau guru les khusus. Dengan jumlah peserta didik yang kecil, perhatian kita memang dapat lebih besar dalam memahami masing-masing pribadi siswa atau siswi. Proses interaktif dapat dilakukan lebih fleksibel dan mengena pada titik sasaran.

Meskipun hanya sebuah gurauan, perkataan teman itu saya jadikan satu dari berbagai masukan penting. Selain itu, ketika dikenalkan kepada para siswa, kepala sekolah senantiasa memberi kesan bahwa saya memiliki kelebihan yang dapat menarik dan meningkatkan semangat belajar. Kesan yang saya tangkap sebagai harapan yang lebih dari sekadar penyampai materi pelajaran atau guru kurikulum menurut kriteria saudara Ngainun Naim pada tulisan awal. Artinya, dengan bekal pendidikan formal, pengalaman kemasyarakatan, bakat pribadi serta kemampuan lain yang pernah dirasakan saat saya mengorganisasi Reuni Akbar tahun 2009 dan dinilai sukses,  diharapkan ada nilai lebih yang bisa diberikan kepada siswa maupun sekolah pada umumnya. Senantiasa menumbuhkan harapan, itu kata kuncinya.

Pengalaman selama ini, terutama di dalam situasi kebencanaan, harapan untuk menggugah dan menguatkan semangat hidup memang merupakan hal pertama dan utama setelah tindakan pertolongan. Dari teman-teman yang bergiat di PSP PMI (Psychological Support Program) saya banyak belajar mengenai dua hal yang menumbuhkan harapan.  Materi lain yang saya dapatkan dari aktivitas menjadi relawan PMI adalah pengetahuan dan pengalaman tentang peer education atau pendidikan rekan sebaya. Demikian pula ketika berperan sebagai fasilitator materi Hukum Humaniter Internasional yang saat ini banyak dibicarakan karena adanya kasus penembakan oleh orang tak dikenal dan menawaskan relawan PMI yang tengah bertugas menolong korban pertikaian bersenjata di Kabupaten Puncak Jaya, Papua, akhir Juli lalu.

Bekal dari berbagai kegiatan di lingkungan PMI, komunitas pegiat budaya dan pelaku kerajinan yang acapkali menimbulkan sebutan kegiatan sok sial sangat bermanfaat dalam proses adaptasi dengan lingkungan baru. Tetapi untuk menggapai derajat guru yang sejatinya sebagaimana dicontohkan oleh almarhumah ibu kandung perlu usaha keras, tekad kuat dan komitmen pribadi yang sangat tinggi. Kesadaran ini mendorong semangat belajar dan terus belajar dari kehidupan tak pernah surut. Seperti dalam puisi Rendra. “ kesaksian harus ditegakkan agar kehidupan terus berjalan”.  

Tidak akan pernah ada yang mudah dalam kehidupan ini jika senantiasa dibuat sulit dan tidak ada sesuatu yang sulit jika dilakukan dengan penuh kesederhanaan. Mengabdi pada kehidupan sebenarnya adalah kewajiban semua manusia beradab. Sebaliknya, berburu bagi kematian adalah tindakan biadab. Pendidikan adalah bagian utama pengabdian pada kehidupan manusia beradab. Pengertian inilah yang saya pahami dari pergulatan hidup sepanjang usia dewasa.

Pendidikan bukan saja memindahkan pengetahuan atau sering disebut dengan istilah transfer ilmu dari pendidik kepada pesertanya. Lebih dari itu, pendidikan adalah suatu proses memaknai nilai-nilai kehidupan manusia beradab. Melalui pendidikan, manusia saling berinteraksi dalam kesetaraan derajat. Dengan bekal pengalaman, pendidik menyampaikan pengetahuan yang pernah ia dapatkan di lingkungan formal maupun dalam pergaulan hidupnya. Boleh jadi, pemahaman ini yang dimaksudkan dalam pengertian pendidikan dengan sentuhan hati atau pendidikan yang menyertakan budi pekerti.

Pendidikan berbasis kesetaraan (peer education) jika dimaknai secara luas dan dalam, akan mendorong peserta didik memahami diri dan lingkungannya. Untuk memahami dirinya, sesorang tak harus belajar secara khusus di sekolah kepribadian. Dan agar mengetahui dengan jelas keadaan lingkungan, pelibatan sosial adalah cara terbaik memasukkan nilai-nilai keadaban atau budi pekerti. Pendidik, peserta didik dan masyarakat saling berinteraksi dalam satu kegiatan yang suasananya dapat disiapkan (by design). Jika diperluan penilaian, pendidik dapat menyediakan suatu daftar yang berisi beragam unsur terurai seperti halnya sebuah urutan perguliran acara (run down). Dalam hal ini, pendidik akan bertindak selaku sutradara, penulis skenario dan pemegang peran tertentu. Tidak sulit, cukup dengan belajar dan terus berlatih.

Ada satu fenomena yang cukup menarik tengah terjadi di dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini setelah ditutupkan sekolah atau perguruan tinggi dengan kekhususan pendidikan. Setelah penutupan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) pada dasawarsa 1980 – 1990, menyusul IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) pada dasawarsa berikutnya. Konon, banyak orang yang berprofesi guru atau dosen adalah jalur pelarian yang menampung sisa-sisa siswa atau mahasiswa yang tak laku di jurusan atau profesi lain. Barangkali, hal ini akan menjadi bahan perbincangan menarik.


Yang jelas, untuk menjadi guru yang dimaknai sebagai manusia yang terpercaya (digugu) dan teladan (ditiru)  bukan hal mudah untuk diwujudkan dalam kehidupan sekarang yang banyak diwarnai perilaku instan dan  hedonistik. Apapun yang instan senantiasa membawa serta sifat ketergesaan dan berpeluang sangat besar melukai atau merusak diri sendiri. Demikian juga dengan perilaku hedonistik (aji mumpung). Dalam konteks yang positif, kedua perilaku itu bermanfaat. Khususnya dalam suasana kebencanaan. 

Tulisan ini dimuat juga di sini 

0 komentar:

Posting Komentar