Penjual layang2 di atas sungai Krasak Kebumen |
Dalam perbincangan dengan istri
yang pernah menjadi guru formal di Jawa Timur sebelum menikah, saya menanyakan
kemungkinan menerima permintaan Ibu Yosephine FW selaku kepala sekolah di SMA
tempat saya belajar saat remaja menjelang dewasa. Dengan gaya khas, memancing
reaksi pribadi, ia mengatakan bahwa untuk menjadi pengajar atau pendidik tidak
tertutup kemungkinan itu. Belajar dan menguasai materi cukuplah sebagai bahan
dasar untuk hal itu. Pengalaman selama ini menjadi pelatih dan motivator bagi
teman-teman relawan PMI, perajin maupun yang lain bisa menguatkan. Tapi untuk
menjadi guru yang memahami dunianya, saya perlu banyak berinteraksi dan
menemukan gagasan-gagasan baru untuk mendekatkan diri pada dunia keguruan.
Apalagi mendekati kemampuan almarhumah ibu yang tak pernah lepas dari dunia
keguruan meski telah pensiun lebih dari seperempat abad.
Ada satu hal yang menggelitik
pikiran ketika saya tengah bersiap melakukan tugas keilmuan, mengamalkannya
kepada para peserta didik yang kebanyakan berasal dari keluarga kurang mampu
secara ekonomi dan sosial. Pada kesempatan awal, kebetulan ada teman guru yang
sudah cukup lama berada di lingkungan ini. Dengan nada bergurau, sang teman
mengatakan bahwa kita seperti guru privat
atau guru les khusus. Dengan jumlah peserta didik yang kecil, perhatian kita
memang dapat lebih besar dalam memahami masing-masing pribadi siswa atau siswi.
Proses interaktif dapat dilakukan lebih fleksibel dan mengena pada titik
sasaran.
Meskipun hanya sebuah gurauan,
perkataan teman itu saya jadikan satu dari berbagai masukan penting. Selain
itu, ketika dikenalkan kepada para siswa, kepala sekolah senantiasa memberi
kesan bahwa saya memiliki kelebihan yang
dapat menarik dan meningkatkan semangat belajar. Kesan yang saya tangkap
sebagai harapan yang lebih dari sekadar penyampai materi pelajaran atau guru
kurikulum menurut kriteria saudara Ngainun Naim pada tulisan awal. Artinya, dengan
bekal pendidikan formal, pengalaman kemasyarakatan, bakat pribadi serta
kemampuan lain yang pernah dirasakan saat saya mengorganisasi Reuni Akbar tahun
2009 dan dinilai sukses, diharapkan ada
nilai lebih yang bisa diberikan kepada siswa maupun sekolah pada
umumnya. Senantiasa menumbuhkan harapan, itu kata kuncinya.
Pengalaman selama ini, terutama
di dalam situasi kebencanaan, harapan untuk menggugah dan menguatkan semangat
hidup memang merupakan hal pertama dan utama setelah tindakan pertolongan. Dari
teman-teman yang bergiat di PSP PMI (Psychological
Support Program) saya banyak belajar mengenai dua hal yang menumbuhkan
harapan. Materi lain yang saya dapatkan
dari aktivitas menjadi relawan PMI adalah pengetahuan dan pengalaman tentang peer education atau pendidikan rekan
sebaya. Demikian pula ketika berperan sebagai fasilitator materi Hukum
Humaniter Internasional yang
saat ini banyak dibicarakan karena adanya kasus penembakan oleh orang tak
dikenal dan menawaskan relawan PMI yang tengah bertugas menolong korban
pertikaian bersenjata di Kabupaten Puncak Jaya, Papua, akhir Juli lalu.
Bekal dari berbagai kegiatan di
lingkungan PMI, komunitas pegiat budaya dan pelaku kerajinan yang acapkali
menimbulkan sebutan kegiatan sok sial sangat
bermanfaat dalam proses adaptasi dengan lingkungan baru. Tetapi untuk menggapai
derajat guru yang sejatinya sebagaimana dicontohkan oleh almarhumah ibu kandung
perlu usaha keras, tekad kuat dan komitmen pribadi yang sangat tinggi. Kesadaran
ini mendorong semangat belajar dan terus belajar dari kehidupan tak pernah
surut. Seperti dalam puisi Rendra. “ kesaksian
harus ditegakkan agar kehidupan terus berjalan”.
Tidak akan pernah ada yang mudah
dalam kehidupan ini jika senantiasa dibuat sulit dan tidak ada sesuatu yang
sulit jika dilakukan dengan penuh kesederhanaan. Mengabdi pada kehidupan sebenarnya
adalah kewajiban semua manusia beradab. Sebaliknya, berburu bagi kematian
adalah tindakan biadab. Pendidikan adalah bagian utama pengabdian pada
kehidupan manusia beradab. Pengertian inilah yang saya pahami dari pergulatan
hidup sepanjang usia dewasa.
Pendidikan bukan saja memindahkan
pengetahuan atau sering disebut dengan istilah transfer ilmu dari pendidik kepada pesertanya. Lebih dari itu,
pendidikan adalah suatu proses memaknai nilai-nilai kehidupan manusia beradab.
Melalui pendidikan, manusia saling berinteraksi dalam kesetaraan derajat. Dengan
bekal pengalaman, pendidik menyampaikan pengetahuan yang pernah ia dapatkan di
lingkungan formal maupun dalam pergaulan hidupnya. Boleh jadi, pemahaman ini
yang dimaksudkan dalam pengertian pendidikan
dengan sentuhan hati atau pendidikan yang menyertakan budi pekerti.
Pendidikan berbasis kesetaraan (peer education) jika dimaknai secara
luas dan dalam, akan mendorong peserta didik memahami diri dan lingkungannya. Untuk
memahami dirinya, sesorang tak harus belajar secara khusus di sekolah
kepribadian. Dan agar mengetahui dengan jelas keadaan lingkungan, pelibatan
sosial adalah cara terbaik memasukkan nilai-nilai keadaban atau budi pekerti.
Pendidik, peserta didik dan masyarakat saling berinteraksi dalam satu kegiatan
yang suasananya dapat disiapkan (by
design). Jika diperluan penilaian, pendidik dapat menyediakan suatu daftar
yang berisi beragam unsur terurai seperti halnya sebuah urutan perguliran acara
(run down). Dalam hal ini, pendidik
akan bertindak selaku sutradara, penulis skenario dan pemegang peran tertentu. Tidak
sulit, cukup dengan belajar dan terus berlatih.
Ada satu fenomena yang cukup
menarik tengah terjadi di dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini setelah
ditutupkan sekolah atau perguruan tinggi dengan kekhususan pendidikan. Setelah
penutupan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) pada dasawarsa 1980 – 1990, menyusul
IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) pada dasawarsa berikutnya. Konon, banyak
orang yang berprofesi guru atau dosen adalah jalur pelarian yang menampung sisa-sisa siswa atau
mahasiswa yang tak laku di jurusan atau profesi lain. Barangkali, hal ini
akan menjadi bahan perbincangan menarik.
Yang jelas, untuk menjadi guru
yang dimaknai sebagai manusia yang terpercaya
(digugu)
dan teladan (ditiru) bukan hal mudah untuk diwujudkan dalam kehidupan
sekarang yang banyak diwarnai perilaku instan
dan hedonistik. Apapun yang instan senantiasa
membawa serta sifat ketergesaan dan berpeluang sangat besar melukai atau
merusak diri sendiri. Demikian juga dengan perilaku hedonistik (aji mumpung). Dalam konteks yang
positif, kedua perilaku itu bermanfaat. Khususnya dalam suasana kebencanaan.
Tulisan ini dimuat juga di sini
0 komentar:
Posting Komentar