Istilah ini kian banyak digunakan
oleh masyarakat setelah beberapa saat tenggelam dalam hiruk pikuk peristiwa G30S. Ketika itu
sukarelawan/ sukarelawati begitu dikenal dan ada juga yang mendapat kesan
menakutkan karena sepak terjang mereka yang seolah mendului masa. Setelah sisa
trauma yang konon melebihi kekejaman rezim Pol Pot yang digambarkan sebagai
tindak pelanggaran HAM berat berangsur hilang, istilah ini mulai muncul dan diterima oleh
khalayak. Palang Merah Indonesia (PMI) menggunakannya sebagai sebutan untuk
para anggota Palang Merah Remaja (relawan remaja), Korps Suka Rela (KSR) yang
berasal dari kalangan muda dan mahasiswa, Tenaga Suka Rela dari kalangan
profesional (supir, perawat, dokter, akuntan, wartawan dan beragam profesi
lain) serta Donor Darah Sukarela (DDS). Di lingkungan perhimpunan nasional
kepalangmerahan ini, relawan adalah
ujung tombak sekaligus tulang punggungnya. Dapat dibayangkan betapa
sangat pentingnya posisi relawan bagi PMI.
Dalam satu dasawarsa terakhir,
sebutan relawan sering muncul dalam berbagai aktivitas politik terutama
menjelang pemilihan umum. Berbeda dari posisi di PMI, relawan politik boleh
dibilang sebagai pelengkap penderita. Mereka juga sering menjadi obyek pencitraan diri politisi yang pada akhirnya justru diposisikan
sebagai korban ambisi politik entah berlabel kandidat presiden, gubernur, bupati
atau kepala desa. Kecenderungan ini terus berulang sampai kemudian muncul
kesadaran bahwa para relawan politik tak lebih dari satu bentuk penjajahan
berselubung demokratisasi. Tetap ada (bahkan cukup banyak) orang yang bersedia
diperlakukan demikian karena termotivasi akan mendapat imbal jasa entah berupa materi, jabatan atau pekerjaan
tertentu jika para kandidat yang dibelanya menduduki posisi yang diincarnya.
Berbeda dengan militansi relawan
organisasi kemanusiaan di PMI misalnya. Mereka datang dengan satu kesadaran
untuk menolong sesama sebagai perwujudan nilai kemanusiaan universal. Kesadaran
ini mendorong upaya pembaruan pengetahuan dan ketrampilan praktis yang
diperlukan untuk menjawab masalah-masalah aktual secara terus menerus baik
secara formal melalui pengembangan kapasitas dalam beragam bentuk pelatihan
teknis yang diselenggarakan oleh PMI di berbagai tingkatan. Maupun melalui
cara-cara informal, berbagi informasi, pengetahuan dan ketrampilan antar
relawan.
Kehadiran media sosial berbasis
internet seperti Facebook, Twitter, Blog dan sebagainya adalah media yang cukup
efektif untuk melakukan proses pembaruan di atas. Bahkan media sosial ini
adalah sarana yang sangat efektif untuk melontarkan gagasan-gagasan baru yang
segar dan visioner. Kesadaran akan pentingnya pembaruan yang berkelanjutan ini
mengharuskan para relawan berpola pikir lepas dari keterkungkungan formalitas,
pakem dan sejenisnya. Istilah umumnya adalah out of box. Pola pikir
seperti ini membuat respon relawan berdedikasi terhadap situasi sulit dan
darurat lebih kuat dan efektif. Dan ini telah dibuktikan di berbagai situasi
bencana alam maupun kemanusiaan oleh banyak relawan PMI, PNS (palang merah/
bulan sabit merah negara sahabat) maupun berbagai organisasi kemanusiaan dunia
lainnya.
Sebenarnya, dalam organisasi
kemanusiaan yang tergabung dalam Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah tidak dikenal istilah militan karena tidak sesuai dengan tujuh
prinsip dasar yang menjadi pijakan utama segala aktivitas organisasional.
Istilah berdedikasi lebih pas dan mewakili. Berdedikasi bukan kepada personalia
atau orang-orang yang ada di dalam (sebut saja pengurus atau staf), tetapi
lebih pada tujuan, misi dan visi organisasi. Kalaupun seorang relawan
tidak suka dengan para personalia organisasi di satu tempat, ia akan mencari di
tempat lain yang bersedia memfasilitasinya. Atau justru dicari oleh wilayah
tertentu.
Dalam banyak hal, relawan
kemanusiaan berbeda dengan relawan politisi. Selain perbedaan peran, kedudukan
dan orientasinya, relawan kemanusiaan cenderung lebih mengedepankan cara berfikir
positif dan inovatif. Sementara itu, relawan politisi meski memiliki militansi
biasanya bersikap eksklusif dan overprotective terhadap pribadi sang politisi
ketimbang berupaya maksimal mewujudkan visi dan misinya. Tapi kecenderungan inipun
kausistis dan sangat sementara.
Memang tidak sebanding untuk menyandingkan keduanya. Karena banyak perbedaan mendasar yang melatarbelakangi. Mulai dari orientasi pribadi, kesadaran diri, cara berpikir, sikap menghadapi masalah dan sebagainya. Bagaimanapun panjang jarak perbedaan itu, sebagai umat manusia, keduanya punya kesamaan yakni afiliatif. Satu berafiliasi pada tujuan, yang lain pada personal atau figur seseorang. Dari sekian banyak perbedaan, relawan kemanusiaan unggul dalam hal mental dan moral.
0 komentar:
Posting Komentar