Senin, 05 Agustus 2013

RELAWAN KEMANUSIAAN DAN LAINNYA (I)


Istilah ini kian banyak digunakan oleh masyarakat setelah beberapa saat  tenggelam dalam hiruk pikuk peristiwa G30S. Ketika itu sukarelawan/ sukarelawati begitu dikenal dan ada juga yang mendapat kesan menakutkan karena sepak terjang mereka yang seolah mendului masa. Setelah sisa trauma yang konon melebihi kekejaman rezim Pol Pot yang digambarkan sebagai tindak pelanggaran HAM berat berangsur hilang, istilah ini mulai muncul dan diterima oleh khalayak. Palang Merah Indonesia (PMI) menggunakannya sebagai sebutan untuk para anggota Palang Merah Remaja (relawan remaja), Korps Suka Rela (KSR) yang berasal dari kalangan muda dan mahasiswa, Tenaga Suka Rela dari kalangan profesional (supir, perawat, dokter, akuntan, wartawan dan beragam profesi lain) serta Donor Darah Sukarela (DDS). Di lingkungan perhimpunan nasional kepalangmerahan ini, relawan adalah  ujung tombak sekaligus tulang punggungnya. Dapat dibayangkan betapa sangat pentingnya posisi relawan bagi PMI.

Dalam satu dasawarsa terakhir, sebutan relawan sering muncul dalam berbagai aktivitas politik terutama menjelang pemilihan umum. Berbeda dari posisi di PMI, relawan politik boleh dibilang sebagai pelengkap penderita. Mereka juga sering menjadi obyek pencitraan diri politisi yang pada akhirnya justru diposisikan sebagai korban ambisi politik entah berlabel kandidat presiden, gubernur, bupati atau kepala desa. Kecenderungan ini terus berulang sampai kemudian muncul kesadaran bahwa para relawan politik tak lebih dari satu bentuk penjajahan berselubung demokratisasi. Tetap ada (bahkan cukup banyak) orang yang bersedia diperlakukan demikian karena termotivasi akan mendapat imbal jasa entah berupa materi, jabatan atau pekerjaan tertentu jika para kandidat yang dibelanya menduduki posisi yang diincarnya.

Berbeda dengan militansi relawan organisasi kemanusiaan di PMI misalnya. Mereka datang dengan satu kesadaran untuk menolong sesama sebagai perwujudan nilai kemanusiaan universal. Kesadaran ini mendorong upaya pembaruan pengetahuan dan ketrampilan praktis yang diperlukan untuk menjawab masalah-masalah aktual secara terus menerus baik secara formal melalui pengembangan kapasitas dalam beragam bentuk pelatihan teknis yang diselenggarakan oleh PMI di berbagai tingkatan. Maupun melalui cara-cara informal, berbagi informasi, pengetahuan dan ketrampilan antar relawan.

Kehadiran media sosial berbasis internet seperti Facebook, Twitter, Blog dan sebagainya adalah media yang cukup efektif untuk melakukan proses pembaruan di atas. Bahkan media sosial ini adalah sarana yang sangat efektif untuk melontarkan gagasan-gagasan baru yang segar dan visioner. Kesadaran akan pentingnya pembaruan yang berkelanjutan ini mengharuskan para relawan berpola pikir lepas dari keterkungkungan formalitas, pakem dan sejenisnya. Istilah umumnya adalah out of box. Pola pikir seperti ini membuat respon relawan berdedikasi terhadap situasi sulit dan darurat lebih kuat dan efektif. Dan ini telah dibuktikan di berbagai situasi bencana alam maupun kemanusiaan oleh banyak relawan PMI, PNS (palang merah/ bulan sabit merah negara sahabat) maupun berbagai organisasi kemanusiaan dunia lainnya.

Sebenarnya, dalam organisasi kemanusiaan yang tergabung dalam Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak dikenal istilah militan karena tidak sesuai dengan tujuh prinsip dasar yang menjadi pijakan utama segala aktivitas organisasional. Istilah berdedikasi lebih pas dan mewakili. Berdedikasi bukan kepada personalia atau orang-orang yang ada di dalam (sebut saja pengurus atau staf), tetapi lebih pada tujuan, misi dan visi organisasi. Kalaupun seorang relawan tidak suka dengan para personalia organisasi di satu tempat, ia akan mencari di tempat lain yang bersedia memfasilitasinya. Atau justru dicari oleh wilayah tertentu.

Dalam banyak hal, relawan kemanusiaan berbeda dengan relawan politisi. Selain perbedaan peran, kedudukan dan orientasinya, relawan kemanusiaan cenderung lebih mengedepankan cara berfikir positif dan inovatif. Sementara itu, relawan politisi meski memiliki militansi biasanya bersikap eksklusif dan overprotective terhadap pribadi sang politisi ketimbang berupaya maksimal mewujudkan visi dan misinya. Tapi kecenderungan inipun kausistis dan sangat sementara.

Memang tidak sebanding untuk menyandingkan keduanya. Karena banyak perbedaan mendasar yang melatarbelakangi. Mulai dari orientasi pribadi, kesadaran diri, cara berpikir, sikap menghadapi masalah dan sebagainya. Bagaimanapun panjang jarak perbedaan itu, sebagai umat manusia, keduanya punya kesamaan yakni afiliatif. Satu berafiliasi pada tujuan, yang lain pada personal atau figur seseorang. Dari sekian banyak perbedaan, relawan kemanusiaan unggul dalam hal mental dan moral.

Tanpa mentalitas prima, seorang relawan kemanusiaan akan segera kehilangan segala kemampuan dan kendali diri ketika harus berhadapan dengan satu pilihan yang menyangkut nyawa manusia yakni mengutamakan korban hidup dan yang terparah kondisinya. Karena itu ada jargon “ tak pernah takut mati, tapi kuatir akan kelaparan”. Di sini, latihan kemampuan bertahan hidup di segala medan seperti dalam kemiliteran diajarkan dengan versi dan pendekatan yang berbeda. Juga beberapa pengetahuan tentang senjata pembunuh tanpa pernah berusaha menggunakannya. Dengan kata lain, relawan kemanusiaan di PMI juga harus tahu cara kerja senjata pembunuh dengan tujuan untuk melumpuhkan sifat mematikannya.      

0 komentar:

Posting Komentar