Apakah sepinya publikasi tentang
Kongres II Diaspora Indonesia (CID II) di Kampung Halaman adalah ekspresi
sinisme publik seperti yang ditengara oleh penggagas, Dr. Dino Pati Jalal?
Tidak mudah untuk mendapat jawaban pasti. Hal yang sama juga berlaku untuk
menelusur ke sumber di lingkungan IDN (Jejaring Diaspora Indonesia). Dari
sejumlah berita yang dapat dikumpulkan dari internet, di saat banyak orang menyatakan ketidakyakinan
diri (pesimis) dan masa bodoh atas kenyataan hidup yang tengah berjalan di
dalam negeri, Diaspora Indonesia justru menggagas dan menyusun rencana aksi
untuk berbuat terbaik bagi negeri
leluhur, kampung halaman dan tanah airnya, Indonesia.
Munculnya sinisme publik atas
beragam faktor aktual di dalam negeri boleh jadi merupakan satu dari sekian
banyak alasan para diaspora Indonesia menyelenggarakan Kongres I di Los
Angeles, Amerika Serikat. Dari video yang ditayangkan di Youtube, CID I dibuka
dengan lagu Bagimu Negeri oleh anak perempuan Broery Pesolima. Kesan yang dapat
ditangkap dari peristiwa ini adalah adanya kerinduan mendalam dari para
diaspora Indonesia kepada tanah air, tanah leluhur, tanah tumpah darah dan bumi
pertiwi, Indonesia Raya. Beberapa peserta nampak tak mampu menahan rasa dan
meneteskan air mata haru.
Peristiwa yang nampak sekilas
tadi jelas bukan satu kebetulan atau kepura-puraan yang sering kali kita lihat
di berbagai arena formal, terutama yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga
pemerintahan di dalam negeri. Jika di sini nasionalisme nyaris kehilangan
roh-nya, di belahan dunia lain justru sebaliknya. Hal ini sangat jelas dari
pernyataan Duta Besar Afrika Selatan di Amerika Serikat yang tanpa ragu
menyebut dirinya anak keturunan Bugis, Ebrahim Rasool. Dengan gaya khas elegan,
dengan sangat lancar, beliau bercerita penuh rasa bangga sebagai orang yang
punya kaitan batin dengan Indonesia. “We are diaspora...but Indonesia !!!”.
Satu hal yang acapkali tak bermakna ketika diucapkan oleh orang-orang yang
punya jabatan setara atau lebih rendah dengan beliau di dalam negeri.
Keunggulan para diaspora
Indonesia bukan hanya karena potensi kepemilikan aset yang sangat luar biasa.
Mereka, terutama yang masih berkewarga-negaraan Indonesia maupun yang telah
menjadi WNA karena faktor perkawinan atau jadi korban politik sektarian dalam
negeri, menyatakan diri ingin pulang kampung. Dari penggunaan
istilah saja kita tahu betapa keterikatan emosional yang mereka pendam lama seolah
ingin ditumpahkan ketika tiba di kampung halaman, tanah leluhur, tanah air dan
tanah tumpah darahnya, Indonesia. Melepas rindu pasti, tapi menyambung tali silaturahmi adalah alasan dasar kemanusiaan yang lazim
terhadi dan dialami kebanyakan orang yang telah lama terpisah.
Memang tidak dapat dipungkiri
bahwa kepemilikan aset meraka yang luar biasa itu bersumber dari kekuatan otak
(brain power) yang dimiliki. Boleh
jadi, di balik kapasitas intelektual dan profesional mereka yang luar biasa dan
mampu mengungguli prestasi banyak orang yang dipuja puji di dalam negeri,
khususnya orang Amerika Serikat yang banyak didaulat sebagai idola atau
pahlawan, dengan cara dan keunggulan pribadi masing-masing, mereka masih memiliki perhatian dan kepedulian
besar pada tanah leluhur, tanah air dan kampung halamannya yang kini tengah
dilanda banyak masalah besar yang membelit. Para diaspora Indonesia yang secara
mental telah lolos uji mampu berkompetisi di tingkat global itu sangat perlu
kita serap ilmu dan pengalamannya untuk memperbaiki mentalitas Bangsa Indonesia
saat ini yang tengah berada di simpang jalan menuju keterpurukan.
Kembali ke masalah sinisme publik
yang menggejala adalah buah praktik politik yang tak berkeadabaan. Saling
mengejek tanpa rasa malu dan ragu di depan publik. Seolah tiada lagi orang
memperhatikan tabiat buruk itu muncul di panggung yang semestinya mencerminkan
sikap negarawan atau negarawati yang senantiasa memberi teladan kebaikan dan
kebajikan. Ketika mereka terjerat kasus hukum, yang mengemuka adalah tindak
antara korupsi dan asusila. Dua di antara banyak kasus yang berkait erat dengan
lemahnya mentalitas. Seperti kata pepatah “ buruk
muka, cermin si belah” atau “lempar
batu, sembunyi tangan”. Pengecut, sebutan yang paling pas untuk itu.
Sebagai perantau, mental diaspora
akan diuji tidak hanya sebagai pribadi. Mereka juga membawa suasana sosial dan
budaya yang mengemuka. Jika di negeri asalnya tengah dilanda kemerosotan
mental, mereka harus memiliki kemampuan yang jauh lebih besar untuk memberi
keyakinan kepada orang-orang di sekitarnya bahwa ia tak terpengaruh oleh
suasana itu. Ketika lolos uji artinya ia membawa beban yang sama berat dan
mampu diatasi. Kejadian semacam ini bisa terjadi di manapun dan kapanpun.
Keunggulan para diaspora di sisi
kualitas sumber daya manusia adalah perpaduan mantap antara kemampuan otak dan
mental juara. Seorang juara sejati akan selalu memelihara kapasitas pribadinya
di segala arena. Dan kemampuan itu dibuktikan di luar kandang dengan hasil
gemilang. Karena itu, ketika mereka ingin membuktikannya di kampung halaman,
selayak-nya diapresiasi secara obyektif. Tidak selalu jadi idola atau pahlawan,
tapi bukan pengecut atau pecundang yang selalu berkelit dari tanggung jawab
pribadi.
Dengan banyaknya keunggulan yang
telah mereka buktikan di luar kampung, tidak sepantasnya kita tidak memberi
aprasiasi tinggi dan menyambut kedatangan mereka dengan suka cita. Apapun yang
akan mereka lakukan pada Kongres Diaspora Indonesia II di kampung halaman
Indonesia, telah banyak karya nyata yang telah mereka sumbangkan kepada bangsa,
negara dan tanah air Indonesia. Meski tanpa publikasi yang memadai, potensi
besar mereka jauh lebih berharga dari pada iklan para politisi yang
menghabiskan banyak dana dan kurang bermanfaat di saat banyak warga bangsa ini terbelit
kesulitan hidup layak bagi kemanusiaannya.
Selamat Datang di Kampung Halaman
Indonesia. Semoga niat baik anda tak berkurang karena sedikitnya penghargaan di
sini, di saat banyak orang tak lagi peduli kepada orang lain. Ketika banyak
orang terlalu asyik dengan diri dan kepentingan sendiri. Autisme sosial yang
menggejala dan menutup ruang-ruang kegotong-royongan yang telah membuat negeri
Indonesia merdeka dari penjajahan asing. Selamat ber-kongres, kami menantikan
karya terbaik anda semua untuk Indonesia Raya. Selamat dan sukses, amien.
0 komentar:
Posting Komentar