Kamis, 01 Agustus 2013

CID II: Peristiwa Akbar Yang Minim Publikasi (II)


Apakah sepinya publikasi tentang Kongres II Diaspora Indonesia (CID II) di Kampung Halaman adalah ekspresi sinisme publik seperti yang ditengara oleh penggagas, Dr. Dino Pati Jalal? Tidak mudah untuk mendapat jawaban pasti. Hal yang sama juga berlaku untuk menelusur ke sumber di lingkungan IDN (Jejaring Diaspora Indonesia). Dari sejumlah berita yang dapat dikumpulkan dari internet,  di saat banyak orang menyatakan ketidakyakinan diri (pesimis) dan masa bodoh atas kenyataan hidup yang tengah berjalan di dalam negeri, Diaspora Indonesia justru menggagas dan menyusun rencana aksi untuk berbuat terbaik bagi negeri leluhur, kampung halaman dan tanah airnya, Indonesia.

Munculnya sinisme publik atas beragam faktor aktual di dalam negeri boleh jadi merupakan satu dari sekian banyak alasan para diaspora Indonesia menyelenggarakan Kongres I di Los Angeles, Amerika Serikat. Dari video yang ditayangkan di Youtube, CID I dibuka dengan lagu Bagimu Negeri oleh anak perempuan Broery Pesolima. Kesan yang dapat ditangkap dari peristiwa ini adalah adanya kerinduan mendalam dari para diaspora Indonesia kepada tanah air, tanah leluhur, tanah tumpah darah dan bumi pertiwi, Indonesia Raya. Beberapa peserta nampak tak mampu menahan rasa dan meneteskan air mata haru.

Peristiwa yang nampak sekilas tadi jelas bukan satu kebetulan atau kepura-puraan yang sering kali kita lihat di berbagai arena formal, terutama yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pemerintahan di dalam negeri. Jika di sini nasionalisme nyaris kehilangan roh-nya, di belahan dunia lain justru sebaliknya. Hal ini sangat jelas dari pernyataan Duta Besar Afrika Selatan di Amerika Serikat yang tanpa ragu menyebut dirinya anak keturunan Bugis, Ebrahim Rasool. Dengan gaya khas elegan, dengan sangat lancar, beliau bercerita penuh rasa bangga sebagai orang yang punya kaitan batin dengan Indonesia. “We are diaspora...but Indonesia !!!”. Satu hal yang acapkali tak bermakna ketika diucapkan oleh orang-orang yang punya jabatan setara atau lebih rendah dengan beliau di dalam negeri.

Keunggulan para diaspora Indonesia bukan hanya karena potensi kepemilikan aset yang sangat luar biasa. Mereka, terutama yang masih berkewarga-negaraan Indonesia maupun yang telah menjadi WNA karena faktor perkawinan atau jadi korban politik sektarian dalam negeri, menyatakan diri ingin pulang kampung. Dari penggunaan istilah saja kita tahu betapa keterikatan emosional yang mereka pendam lama seolah ingin ditumpahkan ketika tiba di kampung halaman, tanah leluhur, tanah air dan tanah tumpah darahnya, Indonesia. Melepas rindu pasti, tapi menyambung tali silaturahmi  adalah alasan dasar kemanusiaan yang lazim terhadi dan dialami kebanyakan orang yang telah lama terpisah.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kepemilikan aset meraka yang luar biasa itu bersumber dari kekuatan otak (brain power) yang dimiliki. Boleh jadi, di balik kapasitas intelektual dan profesional mereka yang luar biasa dan mampu mengungguli prestasi banyak orang yang dipuja puji di dalam negeri, khususnya orang Amerika Serikat yang banyak didaulat sebagai idola atau pahlawan, dengan cara dan keunggulan pribadi masing-masing, mereka masih memiliki perhatian dan kepedulian besar pada tanah leluhur, tanah air dan kampung halamannya yang kini tengah dilanda banyak masalah besar yang membelit. Para diaspora Indonesia yang secara mental telah lolos uji mampu berkompetisi di tingkat global itu sangat perlu kita serap ilmu dan pengalamannya untuk memperbaiki mentalitas Bangsa Indonesia saat ini yang tengah berada di simpang jalan menuju keterpurukan.

Kembali ke masalah sinisme publik yang menggejala adalah buah praktik politik yang tak berkeadabaan. Saling mengejek tanpa rasa malu dan ragu di depan publik. Seolah tiada lagi orang memperhatikan tabiat buruk itu muncul di panggung yang semestinya mencerminkan sikap negarawan atau negarawati yang senantiasa memberi teladan kebaikan dan kebajikan. Ketika mereka terjerat kasus hukum, yang mengemuka adalah tindak antara korupsi dan asusila. Dua di antara banyak kasus yang berkait erat dengan lemahnya mentalitas. Seperti kata pepatah “ buruk muka, cermin si belah” atau “lempar batu, sembunyi tangan”. Pengecut, sebutan yang paling pas untuk itu.

Sebagai perantau, mental diaspora akan diuji tidak hanya sebagai pribadi. Mereka juga membawa suasana sosial dan budaya yang mengemuka. Jika di negeri asalnya tengah dilanda kemerosotan mental, mereka harus memiliki kemampuan yang jauh lebih besar untuk memberi keyakinan kepada orang-orang di sekitarnya bahwa ia tak terpengaruh oleh suasana itu. Ketika lolos uji artinya ia membawa beban yang sama berat dan mampu diatasi. Kejadian semacam ini bisa terjadi di manapun dan kapanpun.

Keunggulan para diaspora di sisi kualitas sumber daya manusia adalah perpaduan mantap antara kemampuan otak dan mental juara. Seorang juara sejati akan selalu memelihara kapasitas pribadinya di segala arena. Dan kemampuan itu dibuktikan di luar kandang dengan hasil gemilang. Karena itu, ketika mereka ingin membuktikannya di kampung halaman, selayak-nya diapresiasi secara obyektif. Tidak selalu jadi idola atau pahlawan, tapi bukan pengecut atau pecundang yang selalu berkelit dari tanggung jawab pribadi.

Dengan banyaknya keunggulan yang telah mereka buktikan di luar kampung, tidak sepantasnya kita tidak memberi aprasiasi tinggi dan menyambut kedatangan mereka dengan suka cita. Apapun yang akan mereka lakukan pada Kongres Diaspora Indonesia II di kampung halaman Indonesia, telah banyak karya nyata yang telah mereka sumbangkan kepada bangsa, negara dan tanah air Indonesia. Meski tanpa publikasi yang memadai, potensi besar mereka jauh lebih berharga dari pada iklan para politisi yang menghabiskan banyak dana dan kurang bermanfaat di saat banyak warga bangsa ini terbelit kesulitan hidup layak bagi kemanusiaannya.

Selamat Datang di Kampung Halaman Indonesia. Semoga niat baik anda tak berkurang karena sedikitnya penghargaan di sini, di saat banyak orang tak lagi peduli kepada orang lain. Ketika banyak orang terlalu asyik dengan diri dan kepentingan sendiri. Autisme sosial yang menggejala dan menutup ruang-ruang kegotong-royongan yang telah membuat negeri Indonesia merdeka dari penjajahan asing. Selamat ber-kongres, kami menantikan karya terbaik anda semua untuk Indonesia Raya. Selamat dan sukses, amien.    

0 komentar:

Posting Komentar