Pertanyaan ini sering mengemuka
tak hanya di saat bangsa Indonesia tengah merayakan Proklamasi Kemerdekaan yang
dibacakan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945 seperti sekarang. Tapi di banyak
kesempatan lain, pertanyaan itu terus muncul. Terutama untuk hal-hal yang
berkaitan dengan keadilan sosial. Apalagi kalau bukan perlakuan tidak adil dari
aparat penegak hukum entah polisi, jaksa dan/atau hakim. Jika kaum lemah yang terkena, semua dalil ditimpakan. Bahkan dihubung-hubungkan agar bertamabah banyak kesalahan yang akan disangkakan. Sebaliknya pada kaum kuat finansial dan politiknya. Praktik yang berlaku persis pisau dapur yang tajam ke bawah, tumpul ke atas. Terlebih mengena para petinggi di semua lembaga penegakan hukum. Meski mereka terbukti
bersalah melakukan tindak pidana, proses penyelesaian hanya bersifat internal
berupa hukuman atas pelanggaran indisipliner atau melanggar kode etik dengan
sanksi maksimal pemecatan. Jarang terdengar, institusi penegak hukum mengajukan
gugatan pidana kepada bekas anggotanya.
Barangkali kita masih ingat
dengan drama Susno Duadji yang terkenal dengan istilah Cicak vs Buaya yang
mengundang kontroversi dan simpati luar biasa besar dari masyarakat luas untuk
KPK. Setelah divonis bersalah dengan ketetapan hukum yang pasti, ia kembali
berulah dengan cara melarikan diri saat akan dieksekusi dan menyebarkan rekaman
provokatif di situs YouTube. Meski hanya sehari dalam pelarian sebelum
menyerahkan diri, Susno Duaji sepertinya ingin menyebarkan pesan bahwa (memang)
tidak ada lagi wibawa hukum di negeri ini.
Masih di lingkungan Polri, kasus
simulasi SIM yang menyeret nama Djoko Susilo sebagai tersangka utama, ketika
KPK menangkap dan membawanya untuk diperiksa di lembaga pemberantasan korupsi,
ada sejumlah anggota Polri yang menyertainya bukan dalam kapasitas sebagai
petugas yang diperbantukan. Tapi lebih berkesan sebagai wujud dukungan langsung
kepada atasan mereka (esprit de corps ?). Perwira Polisi Sulsel Sebarkan BBM Kecam KPK adalah bukti solidaritas yang kebablasan dan
memalukan (kalau memang masih ada).
Pengakuan Susno Duaji di YouTube
Foto: gresik.co-inilah jurus jitu irjen djoko susilo |
Dalam kacamata awam, dua kasus
yang menimpa petinggi Polri itu tak sebanding dengan gencarnya pencitraan Polri
lewat kesatuan anti terornya, Densus 88 dan sejumlah polwan cantik yang
bertugas di TMMC atau Satlantas. Kesan
buruk institusi Polri semakin diperparah oleh sejumlah kasus penyerangan
terhadap berbagai fasilitas dan anggotanya di berbagai wilayah dengan motif
beragam. Balas dendam mungkin merupakan motif yang paling menonjol.
Pertanyaannya, mengapa banyak orang menaruh dendam kepada Polri ?
Saya teringat pada seorang polwan
yang secara terus terang mengatakan keirian hatinya kepada para guru yang
selain bergaji tinggi, ada tunjangan besar setelah lolos sertifikasi dan mudah
mendapat tambahan penghasilan dari menjual barang dan jasa kepada murid maupun
orang tuanya. Demikian juga sebaliknya dengan guru yang sering mengeluh jika
berurusan dengan polisi. Meski gajinya lebih kecil, tapi hasil sampingan bisa berlipat kali gaji yang diterima. Dua dari
sekian banyak bagian warga bangsa telah saling berkeluh kesah karena
ketidakpuasan atas nilai keadilan sosial. Belum lagi di lingkungan jaksa,
hakim, petugas pajak, pegawai negeri sipil atau anggota DPR/DPRD. Kecemburuan sosial telah merebak kemana-mana.
Ada yang menarik dari ilustrasi
tadi. Kedua orang tua kami berbeda profesi. Ketika masa remaja keduanya aktif
berpartisipasi menegakkan makna Indonesia Merdeka di lingkungan Tentara
Pelajar. Ayah jadi kombatan, ibu di kepalangmerahan. Mereka bertemu bukan dalam
suasana romantisme seperti banyak digambarkan dalam cerita dan kisah
perjuangan. Pasca demobilisasi ayah melanjutkan karir militer sampai posisi
yang cukup baik sebelum terjadi insiden penembakan instruktur di SSKAD yang
menamatkan karir militernya. Secara formal memang telah tamat, tapi terus
berjalan ketika negara memanggil.
Sementara itu, ibu tetap
menjalankan profesinya sebagai guru meski beberapa kali dibujuk teman-temannya
untuk memanfaatkan kesempatan dalam proses peralihan situasi negara dari
darurat ke situasi tanpa peperangan. Kadang ada rasa sesal yang begitu dalam
saat mendengar cerita teman-teman sekolah yang bisa berubah “nasib” karena
mampu menyesuaikan diri dengan perubahan situasi itu. Meski akhirnya mahfum
dengan pesan moral: sesal dahulu
pendapatan, sesal kemudian tak berguna . Konsekuensi pengambilan keputusan
adalah menanggung risiko yang diakibatkannya. Menjadi guru tetap jadi pilihan
pertama dan utama. Guru di dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat.
Risikonya, melarat secara ekonomi.
Sepanjang menapak karir di
lingkungan pendidikan, almarhumah berkali-kali mengingatkan bahwa jika ingin
kaya secara ekonomi (materiil), jangan jadi guru atau pegawai negeri. Guru
adalah ladang amal, mengabdi pada ilmu dan keilmuan sebagai wujud pengabdian
nyata kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu juga dengan pegawai negeri yang
mestinya mengutamakan pengabdian kepada bangsa dan negara. Pesan ini diterapkan
pada keluarga secara ketat sampai kami dewasa dan dianggap telah mampu
mengambil keputusan pribadi.
Perubahan peta politik nasional
dari kepemimpinan Soekarno yang revolusioner-karismatik
ke rejim militerisme-feodalistik di
jaman Jenderal Soeharto mengubah secara drastis seluruh tatanan sosial,
ekonomi, politik dan budaya masyarakat. Selain menimbulkan trauma sosial dan
politik berkepanjangan bagi orang-orang yang dituduh PKI dan antek-anteknya, rejim ini juga
menumbuh-kembangkan neo feodalisme yang beberapa tahun kemudian dikenal dengan
istilah praktik KKN. Pendidikan dilepaskan dari induknya, kebudayaan. Salah
satu buahnya adalah penghargaan kepada seseorang bukan atas dasar kemampuan
pribadi, tapi loyalitas pada atasan lebih tinggi dibanding pada tujuan
organisasi. Gelar-gelar formal dan kehormatan jadi ladang buruan untuk
meningkatkan posisi sosial. Sistem pendidikan nasional yang semula dirancang
untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia akhirnya menjadi obyek dan
proyek sektarian. Tidak lagi mengarahkan manusia Indonesia sebagai
manusia merdeka, jujur dan berani bertanggung-jawab. Siapapun dan apapun
alasan mengoreksi, apalagi menentang, kebijakan pemerintah akan disingkirkan
secara ekonomi maupun sosial dengan cepat atau lambat. Stabilitas keamanan yang
ditonjolkan bukan untuk mengamankan jalan mencapai tujuan nasional yang
sejatinya. Tapi tak lebih dari sekadar jaminan keamanan bagi para anggota dan
khususnya pemimpin yang mendukung rejim. (bersambung)
*****
0 komentar:
Posting Komentar