Senin, 30 September 2013

MENAGIH JANJI POLITISI DPR RI

Bukti dukungan tanda tangan Ketua DPR RI

Sebagai negara demokrasi, Indonesia sering disebut-sebut sebagai yang terbesar ke 3 setelah Amerika Serikat dan India. Kalau sebutan ini benar adanya, janji seorang politisi yang bercokol di DPR RI, apalagi oleh sang Ketua Dr. Marzuki Alie, adalah utang yang harus dilunasi segera. Jika janji itu hanya sebuah lip service, apapun alasannya, satu pertanyaan yang wajib dijawab oleh yang bersangkutan dan seluruh anggota DPR RI: masih perlukah segenap rakyat Indonesia mempercayai lembaga legislatif itu mampu jadi penyalur aspirasi dan jalan terbaik pendewasaan diri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia ini ?
***

Pada bagian akhir acara Sarasehan Pengembangan Kapasitas Relawan di tengah kegiatan Temu Karya Nasional (TKN) V Relawan PMI 2013 di kompleks obyek wisata Waduk Selorejo Kabupaten 27 Juni 2013 yang lalu, Ketua DPR RI didaulat oleh para peserta untuk memakai kaos bergambar dukungan untuk satu Negara-satu lambang yakni Palang Merah Indonesia yang telah menjadi sebuah gerakan moral nasional para relawan PMI di seluruh penjuru tanah air bagi upaya percepatan pengesahan RUU Kepalangmerahan yang proses pembahasannya terlalu banyak membuang sumber daya : dana dan kesabaran masyarakat, khususnya bagi relawan PMI yang selama ini jadi ujung tombak kegiatan kemanusiaan di berbagai situasi aman (pelayanan ambulans, pertolongan pertama, pelayanan kesehatan dan lain-lain). Khususnya dalam situasi menghadapi bencana besar (tsunami Aceh 2005, gempa bumi Jawa Tengah dan Yogyakarta 2005, erupsi Gunung merapi dan sebagainya). Banyak korban jatuh dalam upaya menyelenggarakan giat kepalangmerahan sejak masa Perang Kemerdekaan sampai kasus penembakan yang merenggut nyawa relawan PMI di Puncak jaya Papua beberapa saat lalu ketika mereka tengah bertugas mengevakuasi korban baku tembak antara aparat keamanan RI dan pasukan pemberontak.

Sejarah Indonesia mencatat bahwa sejak berdiri secara resmi sebulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, puluhan atau ratusan relawan PMI tewas (sebagian orang menyebutnya dengan istilah gugur) dalam bagian dari upaya perjuangan rakyat Indonesia menegakkan kemerdekaannya. Di masa gawat itu dan sangat menentukan proses kehidupan kebangsaan Indonesia sampai sekarang ini, relawan PMI yang berasal dari kalangan terdidik (siswa dan mahasiswa) dengan suka rela menyediakan dirinya sebagai petugas kemanusiaan yang netral sesuai tradisi dan prinsip dasar yang berlaku dalam Gerakan Internasional Palangmerah dan Bulansabitmerah. Netral dalam arti tidak memihak pada kepentingan pihak-pihak yang tengah berkonflik. 

Dari penuturan langsung pelaku, almarhumah Ibu Atiatoen yang saat menjadi siswa Sekolah Guru Putri (SGP) Yogyakarta menjadi Staf Putri Markas Pusat Pelajar (setara dengan sebutan Markas Besar Tentara Pelajar) di Yogyakarta 1946 - 1949 akhir, hampir semua petugas kesehatan yang mendampingi para pejuang mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 dari tangan penjajah dan pemberontak adalah relawan PMI. Staf Putri mengurus berbagai keperluan dan kegiatan non kombatan (bukan pasukan tempur), teruma di bidang kepalangmerahan dan dapur umum. Tugas kepalangmerahan di saat itu lebih banyak pada kedua bidang tersebut. Karena itu, meskipun masuk dalam jajaran Tentara Pelajar yang berkesan kombatan, staf putri tetap berperan penting dalam mendukung efektivitas gerak para pejuang bersenjata dari kalangan terdidik itu. 

Setelah Indonesia kembali merdeka (?), kini politisi diberi peran yang sangat besar dalam menentukan arah perjalanan bangsa. Terutama setelah gerakan reformasi yang menumbangkan kekuasaan otoriter Orde Baru, peran politisi sangat diharapkan sebagai jembatan strategis sebagai manusia terhormat dalam menyediakan sumber-sumber daya kepemimpinan bangsa di masa depan. Sayangnya, peran strategis ini lebih sering diartikan sepihak dan membabi buta sebagai kewenangan mutlak. Akhirnya, banyak anggota lembaga legisilatif khususnya di lingkungan DPR RI yang sebenarnya belum memadai selaku pemimpin bangsa melakukan tindak-tindakan kontra produktif seperti penggunaan hak inisiatif yang tidak pada tempatnya. Hal ini terjadi ketika sebagian di antara mereka mengusulkan RUU Lambang yang sarat kepentingan politik sektarian dan menghianati amanat kemerdekaan bangsa Indonesia sebelum berganti nama menjadi RUU Kepalangmerahan yang diusulkan dan telah selesai dibahas secara teknis oleh DPR.

Menyadari dengan sepenuh hati dan segenap kesadaran posisinya sebagai ujung tombak, relawan PMI berinsiatif menanyakan perkembangan proses pembahasan RUU Kepalangmerahan secara proporsional dengan cara bertanya kepada pihak paling kompeten yakni Ketua DPR RI yang diundang untuk memberi pencerahan di tengah arena TKN V 2013 tersebut. Atas janji itu, sejumlah relawan PMI di DI Yogyakarta yang didukung oleh segenap unsur diantaranya Pramuka, Polri, TNI dan banyak warga masyarakat yang mempercayai netralitas PMI mengadakan unjuk rasa secara damai pertengahan September 2013 lalu. Tanpa adanya kejelasan dari Ketua DPR RI, relawan PMI tetap akan mencari dan mempertanyakan perkembangan proses pengesahan RUU Kepalangmerahan yang dijanjikan Ketua DPR RI harus terjadi tahun ini. Sementara itu, sisa waktu yang tiga bulan adalah waktu kritis bagi segenap Bangsa Indonesia agar tetap mengapresiasi banyak sisi historis dan positif keberadaan PMI sebagai bagian dari sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Bukan hanya dilihat dari perilaku pengurus organisasi yangn acapkali dinilai menyimpang karena terkooptasi kepentingan politik sektarian. 

Jika politisi di DPR RI jeli dan obyektif dalam melihat realitas, sepantasnya tak perlu ada tuntutan yang berbentuk unjuk rasa dan cara ekspresif lainnya. Apalagi bagi politisi muslim, janji adalah utang yang harus dilunasi tepat waktu. Tanpa diingatkan (baik secara halus dengan sms atau surat terbuka) maupun unjuk rasa (yang puncaknya dapat berwujud ketidak-ikutsertaan relawan PMI dalam segala kegiatan kebencanaan), janji seorang ksatria adalah pertaruhan kehormatan. Jika tidak mampu memenuhi janji yang dibuatnya, anggapan bahwa politisi DPR RI memang layak disebut pecundang. Biasanya seorang pecundang adalah juga pengecut yang senantiasa lari dari tanggung jawab. Semoga tidak demikian yang akan terjadi. Salam Satu Nurani: PMI untuk Bangsa dan Negara Indonesia.
Jika anda orang Indonesia yang menghargai para syuhada bangsa yang merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsanya dengan segenap jiwa dan raga, dukung petisi ini.   

0 komentar:

Posting Komentar