Senin, 09 September 2013

GARA-GARA TAHU DAN TEMPE


Istilah ini pernah popular di masa Bung Karno berkuasa. Ia adalah celaan bagi orang yang kurang kuat mentalnya. Berbanding terbalik dari mental baja yang sangat kuat. Entah yang pastinya, alasan di balik istilah itu nampaknya berhubungan erat masalah waktu. Kekuatan baja bertahan lama, sementara tempe hanya seketika. Apalagi yang mendoan.

Tempe dan tahu yang berbahan baku kedele saat ini tengah menjadi topik hangat dengan kelangkaan pasok hasil pertanian itu di pasar. Bulog sebagaibandar besar kedele mewakili kepentingan pemerintah tak mampu menjalankan peran strategisnya sebagai stabilisator harga ketika nilai tukar rupiah menyusut tajam. Ironi di negeri agraris bernama Indonesia. Tanah subur yang digersangkan oleh perilaku para pengambil keputusan karena melebih-lebihkan nilai kebebasan di atas kemerdekaan yang sejatinya melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Ketika para pengusaha tempe dan tahu yang lebih bermental baja dari para manajer Bulog , sejumlah kepala daerah dan para pejabat di kementrian perdagangan dalam menyikapi kondisi harga bahan dasar yang meroket karena nilai tukar rupiah melemah terhadap sejumlah mata uang asing, khususnya US dollar dengan cara menghentikan atau minimal mengurangi secara drastis volume produksi. Akibatnya, masyarakat konsumen kembali harus menelan rasa kecewa kepada para pejabat pemerintah yang tak mampu bekerja optimal dan terlalu mudah dikelabui para bandar besar kedele.

Ketidakmampuan pemerintah mengendalikan harga komoditi pertanian ini hanya menguatkan dugaan bahwa badan-badan strategis semacam Bulog telah beralih fungsi dari tujuan utama pembentukan sebagai stabilisator pasar dengan pendekatan manajemen persediaan menjadi ajang spekulasi bisnis sektarian yang hanya menguntungkan pemodal besar atau pihak manapun yang punya kepentingan lain dari jalur upaya menjaga roh kemerdekaan bangsa Indonesia di bidang penyediaan bahan pangan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan teknologi yang ada saat ini, tidak ada alasan kuat untuk menyatakan bahwa kedele tak dapat diproduksi optimal untuk mencukupi kebutuhan konsumen dalam negeri.

Masalah manajemen stok kedele bukan soal yang berdiri sendiri. Selain peran Bulog, manajemen produksi pertanian bahan pangan yang dikelola kementerian juga harus dikritisi. Dari berbagai pernyataan produsen tahu dan tempe diketahui bahwa setahun atau lebih sebelumnya, mereka pernah dijanjikan komoditas strategis ini telah diproduksi di dalam negeri di sejumlah areal pertanian baik di dalam maupun luar Pulau Jawa. Ketika krisis stok kedele mulai muncul sebulan yang lalu, para pengusaha tahu dan tempe di sejumlah daerah menagih janji pemerintah itu.

Di sekitar Jabodetabek, para penguasaha tempe dan tahu tak bersedia memasok pasar dan lebih suka membagikan secara gratis kepada masyarakat di sekitarnya. Demikian juga wilayah yang lain. Mereka memrotes ketidakmampuan pemerintah mengendalikan harga komoditas kedele baik lokal maupun import dengan cara yang beragam. Ada yang mengarahkan kekesalannya lewat "anak manja" Primer Koperasi Tahu Tempe (Primkopti) di Kendal.

Sebagaimana kita, masyarakat umum tahu, tempe dan tahu adalah makanan favorit yang tak pernah kekurangan minat konsumen. Artinya, ada kecenderungan pola konsumsi dua komoditas berbahan baku kedele ini dapat diprediksi dengan tingkat akurasi tinggi sekalipun memakai pendekatan sederhana. Fluktuasinya tidak terlalu tajam alias cenderung datar atau rata-rata setiap periodenya. Sehingga, dengan manajemen stok yang sederhana, Bulog dapat dengan mudah melakukan prediksi dan penetapan jumlah stok penyangga sebagai acuan waktu pengisian kembali persediaan kedele yang ada di gudang-gudang Bulog.

Ironi tempe tahu menambah panjang deret masalah yang menumbuh-kembangkan sinisme publikMasyarakat awam layak mengajukan pertanyaan:apa yang telah dilakukan oleh pemerintah melalui badan peyangga ketahanan pangan serta dinas perindustrian dan perdagangan di daerah?
Tulisan ini dimuat juga pakitong-blogdetik.

0 komentar:

Posting Komentar