Rencana isi prasasti Monumen Pena |
Menjelang peresmian Monumen Pena yang menandai keberadaan Markas Darurat Tentara Pelajar di Front Barat Pada Perang Kemerdekaan I-1947 yang rencananya akan dilaksanakan secara sangat sederhana dan hanya melibatkan lingkungan internal Keluarga Besar Tentara Pelajar serta undangan terbatas bertepatan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2013 di depan Gedung Pertemuan Prabasanti Kompleks Gereja Kristen Jawa Jalan Pemuda Kebumen, selaku Pelaksana Teknis, saya menerbitkan tulisan serial menngingat keterbatasan ruang, waktu dan dana mulai hari ini. Tulisan serial ini adalah bagian dari upaya sosialiasi untuk mengatasi kendala tersebut. Tulisan ini juga dimuat di sini.
Sekapur Sirih
Banyak
sudah monumen, tugu peringatan dan tempat tertentu yang bernilai sejarah bagi
masyarakat, bangsa dan negera Indonesia diadakan sebagai tanda sebuah peristiwa
bersejarah yang menandai kehadiran fisik Tentara Pelajar (TP) dalam kancah
perjuangan Bangsa Indonesia mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945. Hampir atau bahkan semua tanda itu digagas dan/atau disetujui oleh “para
tokoh” yang kebanyakan diantaranya adalah pejabat penting di lingkungan sipil
maupun militer. Dan dengan satu catatan yang mungkin sangat penting yaitu
berhubungan dengan posisi sebagai pasukan tempur atau dalam Konvensi Jenewa
disebut kombatan. Pada umumnya, gambaran seperti inilah yang menjadi simbol
utama dalam mewakilkan sebuah peristiwa heroik (bernilai kepahlawanan). Satu
segi yang mungkin juga dianggap penting adalah formalitas, dikuatkan dengan
bukti formal seperti Surat Keputusan (SK) Veteran, tanda jasa dan lain-lain.
Gambaran
umum di atas mungkin saja benar, tapi tidak selalu tepat. Karena dalam realita
perjuangan bangsa Indonesia menegakkan arti dan makna kemerdekaannya, banyak
warga masyarakat biasa yang memberi sumbangsih tidak kecil dan tak pernah
menggapai segi formalitas di atas karena beragam alasan. Satu diantaranya
adalah bahwa keikutsertaannya dalam kancah perjuangan bangsa adalah panggilan
jiwa atau kewajiban moral yang harus ditunaikan sebagai darma bakti kepada
tanah air, bangsa dan negara. Formalitas tak lagi dianggap penting yang
kedudukannya tak lebih dari selembar kertas, sebuah benda mati “tak bernyawa”.
Keadaan
dan keberadaan Markas Darurat Front Barat di lingkungan Gereja Kristen Jawa
Jalan Stasiun (sekarang jalan Pemuda) Kebumen, gaungnya tak sekuat peristiwa
puncak dari sebuah proses pengerahan sebagian besar kekuatan Markas Pusat
Pelajar yang menjadi pusat komando Tentara Pelajar di Jalan Tugu Kulon 70
Yogyakarta. Yaitu pertempuran dua hari di sekitar Desa Sidobunder Kecamatan
Puring Kabupaten Kebumen pada tanggal 1 dan 2 September 1947. Pada persitiwa
itu, secara formal dicatat sejumlah 20 orang anggota TP gugur. Sementara itu,
pengakuan dari pelaku dan orang terakhir yang meninggalkan killing field dari sebuah pertempuran tak berimbang tersebut, ada
24 orang teman seperjuangannya menjadi korban meninggal yang beliau catat dan
laporkan kepada Markas TP di Karanganyar sebagai markas komando di garis
terdepan selaku pemberi perintah dalam mengevakuasi korban.
Perbedaan
jumlah formal dan riil tersebut adalah sebagian sisi peka dalam pencatatan
dan/atau pengakuan atas sebuah peristiwa sejarah. Bagi sebagian orang,
perbedaan itu tidak menjadi hal penting karena hanya mencakup sisi formal. Sisi
atau aspek yang dinilai lebih penting adalah memelihara ”isi”-nya, Mengenai
cara dan upaya memberi makna atas penghargaan tertinggi bagi kemanusiaan. Di
sisi ini, formalitas atau pengakuan resmi secara tertulis tak lagi dinilai
penting dan bermakna bagi kelangsungan hidup manusia pada umumnya.
Makna
itu saya tangkap sebagai sinyal kuat bahwa seorang Atiatoen yang menggagas
kehadiran sebuah Tetenger Rumah
Perjuangan Pada Perang Kemerdekaan I – 1947 Tentara Pelajar Batalyon 300
Brigade XVII TNI di lingkungan Gereja Kristen Jawa di Jalan Stasiun Kebumen
itu merasa bertanggung-jawab secara penuh atas proses perwujudannya setelah
beragam upaya kooperatif dilakukan tapi tak berjalan lancar. Sikap merdeka (mandiri) selalu
dikedepankan agar segala sesuatu yang dilakukan senantiasa bermakna meski harus bersusah payah. Tidak ada kerugian
apapun sepanjang kita mampu memelihara roh perjuangan dalam menggapai
derajat tertinggi manusia yang paripurna.
Keteguhan
hati beliau membuat saya yang selama ini mendampingi tak pernah kehilangan rasa
bangga dan hormat. Betapa seorang perempuan luar biasa selalu bersikap biasa
dan sederhana. Mengenal karakter militer dengan baik tapi tak ingin
militeristik. Bagi beliau, menjadi pejuang adalah panggilan nurani. Bukan untuk
mendapat pengakuan yang dinilai individualistik.
Jangan
pernah mengasihani diri karena itu pangkal kebodohan. Dan memelihara kebodohan adalah
sama artinya dengan membiarkan amanat berlalu tanpa makna. Dua hal yang sangat
disukai oleh kaum penjajah: bodoh dan hianat. Perjuangan kita untuk merdeka
adalah memerangi keduanya. Jangan pernah terkecoh, camkan itu !
Pesan
almarhumah Ibu Atiatoen itulah yang terus diupayakan di segala suasana dengan
segala risiko yang harus dihadapi. Betapa beliau begitu kuat mempertahankan
sikap untuk tidak pernah meminta pengakuan diri sebagai veteran pejuang
kemerdekaan. Surat tugas dan semua dokumen yang berkaitan identitas diri
sebagai pejuang kemerdekaan harus dimusnahkan seperti yang diperintahkan oleh
kakak kandungnya, Affandi, sebelum tentara penjajah sampai di rumahnya saat
kota Kebumen diduduki. Memang kedua anak pasangan Mochammad Djadjoeli dan Siti
Chotidjah ini aktif di kancah perjuangan bersama Tentara Pelajar. Sementara
itu, saudara kandung lainnya yakni Achamd Dimjatie telah lebih dulu bergabung
dalam jalur komando formal TKR (Tentara Keamanan Rakyat) atau TRI (Tentara
Rakyat Indonesia) yang merupakan cikal bakal Tentara Nasional Indonesia.
Informasi awal keberadaan Markas Darurat Tentara Pelajar diperoleh dari kakak
beliau ini.
Tiga
bersaudara ini memang diakui oleh rekan-rekannya sebagai orang yang memegang
teguh prinsip kejuangannya. Sementara itu, Affandi melanjutkan pendidikan dan
menamatkan STM di Malang bersama Agustinus Reksodihardjo yang telah menjadi
teman akrab sejak di Tentara Pelajar. Demikian juga Atiatoen yang memilih jalan
hidupnya sebagai guru SR/SD.
Kisah
tiga bersaudara ini menguatkan keyakinan saya bahwa formalitas memang penting.
Tetapi jauh lebih penting adalah memelihara makna kejuangan yang senantiasa
membawa manfaat bagi banyak orang. Dan hari-hari terakhir ini, dalam situasi
sosial dan politk kian tidak lebih baik dari sebelumnya, memang cukup sulit
mempertahankan makna kejuangan yang sejatinya.
Kebumen, 10
November 2013.
Toto Karyanto.
0 komentar:
Posting Komentar