Senin, 23 Desember 2013

Mengikuti Perjalanan Relawan PMI Bagi Organisasi - Update 3

Setelah Rembug Relawan untuk #RUUKepalangmerahan

Ada korelasi positif antara gerakan Relawan PMI di masa perang kemerdekaan dan saat ini. Pertama, relawan PMI adalah kaum terpelajar yang memiliki jiwa kemanusiaan dan nasionalisme sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dari keberadaan relawan PMI dalam barisan pemuda/pemudi di jaman penjajahan Belanda maupun Jepang. Demikian pula ketika proklamasi dan masa-masa genting di awal usianya, Bangsa Indonesia harus bertahan hidup dari upaya penjajahan kembali oleh bangsa atau persekutuan bangsa asing. Relawan PMI bergabung dengan laskar-laskar perjuangan yang kemudian melebur jadi sebuah kekuatan besar dalam wadah Tentara Nasional Indonesia. Kedua, di masa damai, Relawan PMI adalah kekuatan utama dan roh organisasi. Bukan sekadar agen perubahan yang kemudian “tenggelam” dalam situasi status quo.

Di masa merebut dan menegakkan kemerdekaan tersebut, relawan yang lebih sering disebut sebagai anggota atau petugas PMI banyak dilakukan oleh kaum perempuan karena para lelaki menjadi kombatan (anggota pasukan tempur). Meski demikian, ada juga diantara anggota/petugas PMI di masa itu berperan ganda secara terbatas dalam tugas kemiliteran sebagai mata-mata, menggeledah penumpang kendaraan umum khususnya kereta api dan mengumpulkan senjata beserta pelurunya bagi laskar perjuangan yang diikutinya. Pada kesatuan Tentara Pelajar yang semua anggotanya dari para pelajar sekolah menengah setingkat SMP/SMA, petugas PMI masuk dalam jajaran Staf Khusus baik yang putri maupun putra. Satu diantaranya adalah Kunto Wibisono yang saat itu menempati markas kota Purworejo. Kelak, beliau dikenal sebagai dosen filsafat di Universitas Gadjahmada Yogyakarta dan Rektor Universitas 11 Maret Surakarta (UNS).

Pergerakan Relawan PMI di era reformasi yang menjadikan kekuatan politik (partai politik) jadi “panglima” mulai terasa gaungnya setelah sejumlah relawan menyebut diri sebagai RPI (Relawan Palangmerah Indonesia). Mereka sebenarnya adalah relawan yang sangat berdedikasi bagi organisasi PMI. Senantiasa menjaga sikap mandiri dan netral sesuai prinsip dasar Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang diadopsi sebagai core value PMI. Karena keteguhan sikap itu, sebagian Pengurus Pusat yang kemudian merembet ke daerah menganggapnya sebagai rombongan liar (romli). Meski demikian, justru merekalah yang ketika terjadi bencana besar semacam tsunami Aceh datang dan bertugas sebagai relawan kemanusiaan atas nama PMI lebih dulu ketimbang petugas resmi yang dikirim oleh daerah-daerah di bawah kordinasi Pengurus Pusat. Tiga orang diantaranya adalah inisiator atau pegiat keberadaan payung hukum bagi PMI sebagai perhimpunan nasional yang menerima mandat dari pemerintah Republik Indonesia serta Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Mereka adalah Kristobal (DKI Jakarta) dan Titus serta terakhir Sapta (DIY) telah mendului kembali ke pangkuan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dedikasi dan militansi Relawan PMI untuk #RUUKepalangmerahan tak pernah hilang meski dihalangi dengan beragam cara. Apalagi sejak Tragedi Trisakti 13-14 Mei 1998 yang menawaskan Elang Surya Lesmana dan kasusnya dipetieskan dalam bingkai “kasus politik” oleh para pejabat politik yang menguasai Negara di lembaga-lembaga formal baik pemerintah dan terutama di DPR RI. Kematian tragis Elang adalah tumbal atau korban sia-sia bagi Gerakan Reformasi yang hasilnya lebih banyak dinikmati oleh para petinggi di kedua lembaga formal tadi.

Kasus Elang menginspirasi munculnya RUU Lambang yang digagas oleh Pemerintah dari hasil kajian Pusat Studi Ilmu Hukum Universitas Trisakti Jakarta. Universitas tempat kejadian perkara tertembak matinya seorang Relawan PMI yang tengah bertugas sebagai relawan dan mengenakan atribut PMI. Kasus hukum yang dipolisisasi untuk kepentingan kekuasaan. Karena, kasus ini dapat menjadi insiden internasional jika terus diperkarakan lewat jalur hukum pidana sebagai pelanggaran HAM berat. Proses pembahasan RUU Lambang yang menghabiskan waktu secara sia-sia selama 12 tahun berakhir kebuntuan (dead lock) karena arogansi dan kepongahan orang-orang yang menikmati keuntungan dari para korban sia-sia seperti Elang.

Dalam situasi yang berbeda, #RUUKepalangmerahan yang digagas oleh DPR RI hampir mengalami “nasib” serupa dengan RUU Lambang jika Relawan PMI tidak melakukan gerakan terancana yang salah satu puncaknya adalah Aksi Relawan PMI se Indonesia di Gedung DPR RI pada Selasa, 3 Desember 2013. Sebenarnya, aksi ini bukan spontanitas sebagaimana sering dipahami oleh banyak Relawan PMI. Karena, begitu mendapat informasi bahwa RUU Lambang mengalami jalan buntu, “gerakan perlawanan” mulai digalang dengan aksi pengumpulan tanda tangan dukungan dari berbagai daerah seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Diawali di Kabupaten Bogor, aksi ini terus bergulir ke berbagai wilayah. Jawa Tengah dicatat sebagai provinsi yang paling pasif meski salah satu motor penggeraknya berasal dari provinsi yang di jaman Orde Baru dianggap sebagai “barometer politik nasional”.

Aksi 3 Desember 2013 adalah sebuah puncak kegeraman Relawan PMI terhadap perilaku sektarian dan sok kuasa dari para politisi di DPR RI yang ada di Panitia Khusus #RUUKepalangmerahan. Hal ini dengan sangat mudah dapat ditangkap dari berbagai sikap dan pernyataan mereka ketika beraudiensi dengan perwakilan Relawan PMI yang dikordinasi dari Relawan PMI Markas Kota Jakarta Selatan, Andi Gumilar dan Alvis Syamsi dari Jakarta Pusat. Keduanya adalah Relawan PMI yang sangat berdedikasi bagi organisasinya. Militansi keduanya menguat ketika bergabung di RPI dan dipelihara sampai sekarang. Bahkan, Andi Gumilar mampu mengkondisikan Markas Kota Jakarta Selatan sebagai pusat komando gerakan. Apalagi dengan dukungan penuh dari Pengurus inti, Ketua (Bapak Dadang Masduki) dan Sekretaris (Bang Moch. Adnan) yang dengan jelas dan tegas berani mengambil risiko apapun.


Fitir Sidiqah dan Deni Prasetyo dua staf PP PMI "berisiko" untuk #RUUKepalangmerahan

Optimis menang tuk #RUUKepalangmerahan



Catatan sejarah yang tak pernah akan kami lupakan adalah pertemuan 31 Oktober 2013 di Ruang Sekretaris PMI Kota Jakarta Selatan. Dengan gaya Betawi yang khas, hangat dan bersahabat, Bang Adnan mempertemukan kami : Fitria Sidiqah dan Deni Prasetyo (Markas Pusat PMI), Seto Handoko (Bantul), Mudjiono HS (Jakarta Pusat), Andi Gumilar (Jakarta Selatan) dan saya. Kedatangan kami adalah mengklarifikasi berita terakhir yang diposting oleh Fitria di grup social media Kampoeng Relawan. Selaku wakil PMI dalam setiap pembahasan dengan pemerintah maupun DPR RI, Fitria Sidiqah dengan sangat gamblang menjelaskan proses pembahasan #RUUKepalangmerahan yang potensial mengalami “nasib” sama dengan RUU Lambang. Karena rasa tanggung jawab kepada bangsa dan Negara serta mengingat telah banyak korban meninggal dari Relawan PMI ketika bertugas membawa nama organisasi. Sementara itu, Pengurus Pusat selaku penentu kebijakan nasional organisasi PMI tidak memberi dukungan maksimal atas upaya yang dilakukan dirinya bersama Kepala Markas Pusat. Nada bicara yang tersirat sangat tinggi, menandakan kekesalan hatinya atas sikap orang-orang yang semestinya mampu berbuat lebih dibanding relawan yang tak punya posisi tawar penting dalam pengambilan keputusan strategis organisasi dan sering diperlakukan diskriminatif ketika situasi dianggap “aman dan terkendali (business is usual)”. Di akhir pertemuan, kami bersepakat untuk mendiskusikan situasi aktual yang sebenarnya telah masuk tahap genting atau gawat darurat. (bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar