Setelah Rembug Relawan untuk #RUUKepalangmerahan |
Ada
korelasi positif antara gerakan Relawan PMI di masa perang kemerdekaan dan saat
ini. Pertama, relawan PMI adalah kaum terpelajar yang memiliki jiwa kemanusiaan
dan nasionalisme sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dari keberadaan relawan PMI
dalam barisan pemuda/pemudi di jaman penjajahan Belanda maupun Jepang. Demikian
pula ketika proklamasi dan masa-masa genting di awal usianya, Bangsa Indonesia
harus bertahan hidup dari upaya penjajahan kembali oleh bangsa atau persekutuan
bangsa asing. Relawan PMI bergabung dengan laskar-laskar perjuangan yang
kemudian melebur jadi sebuah kekuatan besar dalam wadah Tentara Nasional
Indonesia. Kedua, di masa damai, Relawan PMI adalah kekuatan utama dan roh
organisasi. Bukan sekadar agen perubahan yang kemudian “tenggelam” dalam
situasi status quo.
Di
masa merebut dan menegakkan kemerdekaan tersebut, relawan yang lebih sering
disebut sebagai anggota atau petugas PMI banyak dilakukan oleh kaum perempuan
karena para lelaki menjadi kombatan (anggota pasukan tempur). Meski demikian,
ada juga diantara anggota/petugas PMI di masa itu berperan ganda secara
terbatas dalam tugas kemiliteran sebagai mata-mata, menggeledah penumpang
kendaraan umum khususnya kereta api dan mengumpulkan senjata beserta pelurunya
bagi laskar perjuangan yang diikutinya. Pada kesatuan Tentara Pelajar yang
semua anggotanya dari para pelajar sekolah menengah setingkat SMP/SMA, petugas
PMI masuk dalam jajaran Staf Khusus baik yang putri maupun putra. Satu
diantaranya adalah Kunto Wibisono yang saat itu menempati markas kota
Purworejo. Kelak, beliau dikenal sebagai dosen filsafat di Universitas
Gadjahmada Yogyakarta dan Rektor Universitas 11 Maret Surakarta (UNS).
Pergerakan
Relawan PMI di era reformasi yang menjadikan kekuatan politik (partai politik)
jadi “panglima” mulai terasa gaungnya setelah sejumlah relawan menyebut diri
sebagai RPI (Relawan Palangmerah Indonesia). Mereka sebenarnya adalah relawan
yang sangat berdedikasi bagi organisasi PMI. Senantiasa menjaga sikap mandiri
dan netral sesuai prinsip dasar Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah yang diadopsi sebagai core
value PMI. Karena keteguhan sikap itu, sebagian Pengurus Pusat yang
kemudian merembet ke daerah menganggapnya sebagai rombongan liar (romli). Meski demikian, justru
merekalah yang ketika terjadi bencana besar semacam tsunami Aceh datang dan
bertugas sebagai relawan kemanusiaan atas nama PMI lebih dulu ketimbang petugas
resmi yang dikirim oleh daerah-daerah di bawah kordinasi Pengurus Pusat. Tiga
orang diantaranya adalah inisiator atau pegiat keberadaan payung hukum bagi PMI
sebagai perhimpunan nasional yang menerima mandat dari pemerintah Republik
Indonesia serta Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.
Mereka adalah Kristobal (DKI Jakarta) dan Titus serta terakhir Sapta (DIY) telah
mendului kembali ke pangkuan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dedikasi
dan militansi Relawan PMI untuk #RUUKepalangmerahan tak pernah hilang meski
dihalangi dengan beragam cara. Apalagi sejak Tragedi Trisakti 13-14 Mei 1998
yang menawaskan Elang Surya Lesmana dan kasusnya dipetieskan dalam bingkai
“kasus politik” oleh para pejabat politik yang menguasai Negara di
lembaga-lembaga formal baik pemerintah dan terutama di DPR RI. Kematian tragis
Elang adalah tumbal atau korban sia-sia bagi Gerakan Reformasi yang hasilnya
lebih banyak dinikmati oleh para petinggi di kedua lembaga formal tadi.
Kasus
Elang menginspirasi munculnya RUU Lambang yang digagas oleh Pemerintah dari hasil
kajian Pusat Studi Ilmu Hukum Universitas Trisakti Jakarta. Universitas tempat
kejadian perkara tertembak matinya seorang Relawan PMI yang tengah bertugas sebagai
relawan dan mengenakan atribut PMI. Kasus hukum yang dipolisisasi untuk
kepentingan kekuasaan. Karena, kasus ini dapat menjadi insiden internasional
jika terus diperkarakan lewat jalur hukum pidana sebagai pelanggaran HAM berat.
Proses pembahasan RUU Lambang yang menghabiskan waktu secara sia-sia selama 12
tahun berakhir kebuntuan (dead lock) karena arogansi dan kepongahan orang-orang
yang menikmati keuntungan dari para korban sia-sia seperti Elang.
Dalam
situasi yang berbeda, #RUUKepalangmerahan yang digagas oleh DPR RI hampir mengalami
“nasib” serupa dengan RUU Lambang jika Relawan PMI tidak melakukan gerakan terancana
yang salah satu puncaknya adalah Aksi Relawan PMI se Indonesia di Gedung DPR RI
pada Selasa, 3 Desember 2013. Sebenarnya, aksi ini bukan spontanitas
sebagaimana sering dipahami oleh banyak Relawan PMI. Karena, begitu mendapat
informasi bahwa RUU Lambang mengalami jalan buntu, “gerakan perlawanan” mulai
digalang dengan aksi pengumpulan tanda tangan dukungan dari berbagai daerah
seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Diawali di Kabupaten
Bogor, aksi ini terus bergulir ke berbagai wilayah. Jawa Tengah dicatat sebagai
provinsi yang paling pasif meski salah satu motor penggeraknya berasal dari
provinsi yang di jaman Orde Baru dianggap sebagai “barometer politik nasional”.
Aksi
3 Desember 2013 adalah sebuah puncak kegeraman Relawan PMI terhadap perilaku sektarian
dan sok kuasa dari para politisi di DPR RI yang ada di Panitia Khusus
#RUUKepalangmerahan. Hal ini dengan sangat mudah dapat ditangkap dari berbagai
sikap dan pernyataan mereka ketika beraudiensi dengan perwakilan Relawan PMI
yang dikordinasi dari Relawan PMI Markas Kota Jakarta Selatan, Andi Gumilar dan
Alvis Syamsi dari Jakarta Pusat. Keduanya adalah Relawan PMI yang sangat
berdedikasi bagi organisasinya. Militansi keduanya menguat ketika bergabung di
RPI dan dipelihara sampai sekarang. Bahkan, Andi Gumilar mampu mengkondisikan
Markas Kota Jakarta Selatan sebagai pusat komando gerakan. Apalagi dengan dukungan
penuh dari Pengurus inti, Ketua (Bapak Dadang Masduki) dan Sekretaris (Bang Moch.
Adnan) yang dengan jelas dan tegas berani mengambil risiko apapun.
Fitir Sidiqah dan Deni Prasetyo dua staf PP PMI "berisiko" untuk #RUUKepalangmerahan |
Optimis menang tuk #RUUKepalangmerahan |
Catatan
sejarah yang tak pernah akan kami lupakan adalah pertemuan 31 Oktober 2013 di
Ruang Sekretaris PMI Kota Jakarta Selatan. Dengan gaya Betawi yang khas, hangat
dan bersahabat, Bang Adnan mempertemukan kami : Fitria Sidiqah dan Deni
Prasetyo (Markas Pusat PMI), Seto Handoko (Bantul), Mudjiono HS (Jakarta Pusat),
Andi Gumilar (Jakarta Selatan) dan saya. Kedatangan kami adalah mengklarifikasi
berita terakhir yang diposting oleh Fitria di grup social media Kampoeng
Relawan. Selaku wakil PMI dalam setiap pembahasan dengan pemerintah maupun DPR
RI, Fitria Sidiqah dengan sangat gamblang menjelaskan proses pembahasan
#RUUKepalangmerahan yang potensial mengalami “nasib” sama dengan RUU Lambang.
Karena rasa tanggung jawab kepada bangsa dan Negara serta mengingat telah
banyak korban meninggal dari Relawan PMI ketika bertugas membawa nama
organisasi. Sementara itu, Pengurus Pusat selaku penentu kebijakan nasional
organisasi PMI tidak memberi dukungan maksimal atas upaya yang dilakukan
dirinya bersama Kepala Markas Pusat. Nada bicara yang tersirat sangat tinggi,
menandakan kekesalan hatinya atas sikap orang-orang yang semestinya mampu
berbuat lebih dibanding relawan yang tak punya posisi tawar penting dalam pengambilan
keputusan strategis organisasi dan sering diperlakukan diskriminatif ketika
situasi dianggap “aman dan terkendali (business
is usual)”. Di akhir pertemuan, kami bersepakat untuk mendiskusikan situasi
aktual yang sebenarnya telah masuk tahap genting
atau gawat darurat. (bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar