Kamis, 27 Februari 2014

Memperbaiki Citra Pendidikan di Indonesia - Bagian 1

Suasana kelas gabungan xi dan xii di SMA Masehi Kebumen 2014

Jelang perhelatan akbar dunia pendidikan menengah dengan datangnya musim ujian baik sekolah maupun nasional, banyak orang tua atau wali murid yang harus pontang panting mencari tambahan dana untuk mencukupinya. Seolah jadi ritual, sejumlah pemburu rente memanfaatkan situasi ini untuk mengeruk keuntungan ekonomi. Ada yang membawa serta manfaat sosial dengan cara berbagi kepada sekolah, madrasah atau pondok pesantren dalam beragam bentuk. Tapi kecenderungan seperti ini relatif langka.

Dunia pendidikan adalah satu indikator penting dalam indeks pembangunan manusia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI) adalah ukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Menurut Program Pembangunan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNDP), selama 2010-2014  ada kecenderungan Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia membaik di berbagai daerah. 

Di bidang pendidikan, Angka Partisipasi Murni (APM) untuk program wajib belajar 9 tahun dinilai cukup berhasil. Sementara itu, pada tingkat pendidikan menengah setara SMA masih cukup memprihatinkan. Seiring dengan tumbuhnya kekuatan ekonomi baru di luar Pulau Jawa, Sumatera dan Bali yang selama ini menjadi pusatnya yaitu Kalimantan dan Sulawesi, APM di kedua pulau itu juga cenderung membaik. Secara keseluruhan, tantangan terbesar Bangsa Indonesia adalah masih lemahnya faktor kelembagaan yang tak berubah selama empat tahun terakhir. Hal inilah yang menjadi satu dari beberapa sebab daya saing sumber daya manusia (SDM) di Indonesia senantiasa tertinggal dari negara-negara lain di Asia maupun Asean. Yakni masih berada di angka 3 - 4 dalam skala 7.
  
Kualitas institusi sangat mempengaruhi daya saing dan pertumbuhan. Kualitas institusi mempengaruhi keputusan-keputusan investasi dan pengorganisasian produksi, serta memainkan peran kunci terhadap cara-cara masyarakat mendistribusikan keuntungan dan memikul biaya-biaya dari strategi dan kebijakan pembangunan. Lebih jauh lagi, peranan institusi melampaui kerangka legal. Oleh karena itu sikap pemerintah terhadap pasar dan kebebasan serta efisiensi penyelenggaraan pemerintahan juga sangat penting.

Lemahnya faktor kelembagaan tentu saja sangat berpengaruh dalam menentapkan kebijakan pembangunan, khususnya di bidang pendidikan. Selain itu, dalam hal penentuan kebijakan strategi pendidikan yang selama ini memakai pendekatan input, pakar ekonomi dan dosen senior Universitas Indonesia - Faisal Basri- mengungkapkan bahwa strategi atau pendekatan tadi adalah sebagai pertanda adanya sesat pikir pendidikan di tanah air selama ini. Dijelaskan bahwa meningkatnya anggaran pendidikan yang di tahun 2014 mencapai angka Rp 300 triliun hendaknya disertai dengan capaian atau target yang jelas. Karena, pendekatan input yang bertumpu pada faktor sekolah menjadi penyebab utama lemahnya daya saing sumber daya manusia Indonesia. Ke depan, untuk menguatkan rencana menjadikan Indonesia sebagai negara modern dan berdaya saing global, perlu perubahan dalam pembangunan bidang pendidikan dari pendekatan input ke output. 

Disarankan agar pemerintah segera menetapkan variabel dan tolok ukur output pendidikan. Lazimnya, output pendidikan dinilai dari tingkat kemampuan baca (reading literacy rate), pemahaman atas ilmu pengetahuan atau scientific  literacy rate, penguasaan materi matematik ( mathematics  literacy rate ) serta kemampuan memecahkan masalah (problem solving rate). Pendekatan output menempatkan keluarga sebagai faktor yang sangat penting dalam proses pendidikan. Selain itu adalah innate ability dan peers. Yang terakhir adalah school inputs. 

Citra pendidikan di Indonesia memang menjadi cermin carut marutnya kondisi umum manusianya. Banyak hal yang harus direkonstruksi. Tidak hanya bongkar pasang kurikulum yang seolah menjadi satu bahan ejekan "ganti menteri, ganti kebijakan" tapi tak mengubah perilaku. Sementara itu, ada tiga sebab utama runtuhnya pendidikan di Indonesia yang sedikit banyak merupakan masalah krusial ketertinggalan Indonesia dari negara-negara  lain di kawasan Asean dan Asia Oceania.   

0 komentar:

Posting Komentar