Sabtu, 01 Maret 2014

Memperbaiki Citra Pendidikan di Indonesia - Bagian 2

Ilustrasu: Latihan Drama di SMA Masehi Kebumen.

Kurikulum 2013 yang belum genap setahun ditetapkan sebagai ganti KTSP dan menelan dana trilunan rupiah uang rakyat Indonesia kini kian menuai kritikan dari banyak pihak. Kali ini datang dari guru besar UIN Jakarta, Prof. Azyumardi Azra. Dalam tulisan citra pendidikan indonesia di sini, disebutkan bahwa kondisi umum dunia pendidikan dasar dan menengah yang tak pernah beranjak dari rutinitas formal kegiatan belajar mengajar menyebabkan mutu atau kualitas peserta didik tak pernah beranjak meningkat, mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain. Dalam hal ini, program sertifikasi yang dimaksudkan sebagai tolok ukur kemampuan kualitatif guru dinilai tidak atau belum berhasil.

Dari penjelasan panjang di atas, setidaknya ada 3 hal utama. Pertama, proses belajar-mengajar di lembaga penyelenggara tenaga kependidikan (LPTK) dilakukan sekadar untuk memenuhi asas formal dan bersifat rutin tanpa isian yang mendorong tumbuhnya imajinasi dan kreativitas. Kedua, Dinas Pendidikan sebagai lini terdepan penentu kebijakan tak memberi sisa ruang gerak otonomi untuk para guru dalam mengoptimalkan potensi yang ada. Ketiga, masalah budaya rikuh  yang tidak pada tempatnya.

Pada tulisan sebelumnya telah disinggung beberapa hal berkait dengan rendahnya mutu SDM Indonesia. Menurut kajian UNDP, faktor kelembagaan adalah titik lemah utama kesulitan meningkatkan derajat mutu dan daya saing manusia Indonesia di fora internasional. Kelembagaan atau organisasi adalah representasi modernitas manusia. Semakin modern manusia, kebutuhan untuk mengorganisasikan diri cenderung meningkat dan terus berjalan maju tidak hanya mengejar ketertinggalan dari manusia atau bangsa lain. Tetapi bersungguh-sungguh melakukan perbaikan mendasar untuk menghasilkan karya-karya inovatif.

Reformasi birokrasi yang dilakukan untuk melakukan perbaikan kinerja kelembagaan dalam pemerintahan memang terus dilakukan. Selama empat tahun terakhir, sebagaimana dilaporkan oleh lembaga dunia tadi, tidak ada perkembangan berarti. Masih berkutat pada tingkat ke 4 dalam skala 7. Artinya, budaya berorganisasi di lingkungan birokrasi masih sangat lemah di tengah kecenderungan kian meningkatnya sektarianisme lokal dan kelompok kepentingan. Artinya, semangat reformasi di lembaga-lembaga pemerintah baru sebatas tekstual, belum mengena pada hal-hal aktual dan terutama yang krusial. Dalam praktik, pola budaya organisasi yang berlaku masih cenderung tradisional. Jika dirunut jauh ke belakang, sumbernya adalah kelemahan pada aspek pembangunan pendidikan yang menghilangkan akar budaya di dalamnya. Tidak berkarakter dan kehilangan roh keindonesiaannya.

Menyangkut sertifikasi yang oleh Prof. Azyumardi Azra dikatakan tidak atau belum berhasil, ada kenyataan menarik terjadi di Kota Pekalongan.  Saat ini guru PNS terasa sangat dimanjakan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dan karenanya  kinerja guru PNS mestinya meningkat. Dengan adanya sertifikasi maka penghasilan mereka hampir dua kali lipat PNS biasa. Karenanya para guru PNS diminta bekerja lebih giat dan memberikan  pengabdiannya yang terbaik.  Adanya berbagai kebijakan yang mendukung kesejahteraan guru PNS  berimbas dengan majunya dunia pendidikan. “Namun  hasilnya sampai saat ini belum ada kemajuan yang signifikan dalam dunia pendidikan kita. Dari 50 formasi yang dibutuhkan hanya ada 44 orang memenuhi syarat,” tegas Walikota.

Selama ini kita tahu bahwa Kota Pekalongan termasuk satu dari pusat bisnis di Provinsi Jawa Tengah. Iklim wirausahaanya berkembang cukup baik dan minat menjadi PNS relatif rendah. Hal ini bertolak belakang dengan Kabupaten Kebumen yang di awal tahun 2010 masih menempati peringkat ke 3 daerah termiskin di provinsi yang banyak menyumbang pimpinan nasional ini. Adanya sertifikasi guru PNS menyebabkan pola budaya kosmopolitan berkembang pesat secara artifisial. Ditambah dengan telah dideklarasikannya sebagai kota vokasi, perkembangan dunia pendidikan umum di daerah ini semakin tak berarah. Sejumlah SMK baru didirikan dan yang lama terus dikembangkan jumlah/volume fisiknya tanpa dukungan sistem yang memadai untuk melakukan proses belajar mengajar yang mampu memenuhi kriteria utama sebuah kota vokasi. Akibatnya, banyak SMA negeri di luar pusat kota dan khususnya swasta yang mengalami kesulitan menarik peserta didik baru. Pengulangan kekeliruan atas kasus RSBI/RSI nampaknya akan segera terjadi seiring perubahan situasi politik nasional pasca pemilu 2014. 

0 komentar:

Posting Komentar