Ilustrasu: Latihan Drama di SMA Masehi Kebumen. |
Kurikulum 2013
yang belum genap setahun ditetapkan sebagai ganti KTSP dan menelan dana
trilunan rupiah uang rakyat Indonesia kini kian menuai kritikan dari banyak
pihak. Kali ini datang dari guru besar UIN Jakarta, Prof. Azyumardi Azra. Dalam
tulisan citra pendidikan indonesia di sini, disebutkan bahwa kondisi umum dunia pendidikan dasar dan
menengah yang tak pernah beranjak dari rutinitas formal kegiatan belajar
mengajar menyebabkan mutu atau kualitas peserta didik tak pernah beranjak
meningkat, mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain. Dalam hal ini,
program sertifikasi yang dimaksudkan sebagai tolok ukur kemampuan kualitatif
guru dinilai tidak atau belum berhasil.
Dari penjelasan panjang di atas, setidaknya ada 3
hal utama. Pertama, proses belajar-mengajar di lembaga penyelenggara tenaga kependidikan
(LPTK) dilakukan sekadar untuk memenuhi asas formal dan bersifat rutin tanpa
isian yang mendorong tumbuhnya imajinasi dan kreativitas. Kedua, Dinas
Pendidikan sebagai lini terdepan penentu kebijakan tak memberi sisa ruang gerak
otonomi untuk para guru dalam mengoptimalkan potensi yang ada. Ketiga, masalah
budaya rikuh yang tidak pada tempatnya.
Pada tulisan sebelumnya telah disinggung beberapa
hal berkait dengan rendahnya mutu SDM Indonesia. Menurut kajian UNDP, faktor kelembagaan
adalah titik lemah utama kesulitan meningkatkan derajat mutu dan daya saing manusia
Indonesia di fora internasional. Kelembagaan atau organisasi adalah
representasi modernitas manusia. Semakin modern manusia, kebutuhan untuk
mengorganisasikan diri cenderung meningkat dan terus berjalan maju tidak hanya
mengejar ketertinggalan dari manusia atau bangsa lain. Tetapi
bersungguh-sungguh melakukan perbaikan mendasar untuk menghasilkan karya-karya
inovatif.
Reformasi birokrasi yang dilakukan untuk
melakukan perbaikan kinerja kelembagaan dalam pemerintahan memang terus dilakukan.
Selama empat tahun terakhir, sebagaimana dilaporkan oleh lembaga dunia tadi,
tidak ada perkembangan berarti. Masih berkutat pada tingkat ke 4 dalam skala 7.
Artinya, budaya berorganisasi di lingkungan birokrasi masih sangat lemah di
tengah kecenderungan kian meningkatnya sektarianisme lokal dan kelompok
kepentingan. Artinya, semangat reformasi di lembaga-lembaga pemerintah baru
sebatas tekstual, belum mengena pada hal-hal aktual dan terutama yang krusial. Dalam
praktik, pola budaya organisasi yang berlaku masih cenderung tradisional. Jika
dirunut jauh ke belakang, sumbernya adalah kelemahan pada aspek pembangunan
pendidikan yang menghilangkan akar budaya di dalamnya. Tidak berkarakter dan
kehilangan roh keindonesiaannya.
Menyangkut sertifikasi yang oleh Prof. Azyumardi
Azra dikatakan tidak atau belum berhasil, ada kenyataan menarik terjadi di Kota
Pekalongan. Saat ini guru PNS terasa sangat dimanjakan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dan karenanya kinerja guru PNS mestinya meningkat. Dengan adanya sertifikasi maka penghasilan mereka hampir dua
kali lipat PNS biasa. Karenanya para guru PNS diminta bekerja lebih giat dan
memberikan pengabdiannya yang terbaik. Adanya berbagai kebijakan yang mendukung
kesejahteraan guru PNS berimbas dengan majunya dunia pendidikan. “Namun
hasilnya sampai saat ini belum ada kemajuan yang signifikan dalam dunia
pendidikan kita. Dari 50 formasi yang dibutuhkan hanya ada 44 orang memenuhi
syarat,” tegas Walikota.
Selama ini kita tahu bahwa Kota Pekalongan
termasuk satu dari pusat bisnis di Provinsi Jawa Tengah. Iklim wirausahaanya
berkembang cukup baik dan minat menjadi PNS relatif rendah. Hal ini bertolak
belakang dengan Kabupaten Kebumen yang di awal tahun 2010 masih menempati
peringkat ke 3 daerah termiskin di provinsi yang banyak menyumbang pimpinan
nasional ini. Adanya sertifikasi guru PNS menyebabkan pola budaya kosmopolitan
berkembang pesat secara artifisial. Ditambah dengan telah dideklarasikannya
sebagai kota vokasi, perkembangan dunia pendidikan umum di daerah ini semakin
tak berarah. Sejumlah SMK baru didirikan dan yang lama terus dikembangkan
jumlah/volume fisiknya tanpa dukungan sistem yang memadai untuk melakukan
proses belajar mengajar yang mampu memenuhi kriteria utama sebuah kota vokasi. Akibatnya,
banyak SMA negeri di luar pusat kota dan khususnya swasta yang mengalami kesulitan
menarik peserta didik baru. Pengulangan kekeliruan atas kasus RSBI/RSI
nampaknya akan segera terjadi seiring perubahan situasi politik nasional pasca
pemilu 2014.
0 komentar:
Posting Komentar