Guru Oemar Bakri (ilustrasi). |
Di tengah hura-hura politik di masa kampanye pemilu legislatif, ada berita yang sangat menarik perhatian saya ketimbang sejumlah janji gombal para politisi di berbagai panggung kampanye. Berita itu menyiratkan bahwa Dinas Pendidikan di tiap kabupaten/kota lalai melakukan kewajiban mengurus inpassing (penyetaraan gaji) para guru non PNS (Pegawai Negeri Sipil) alias kesejahteraan guru swasta diabaikan karena tidak mendapat "imbalan jasa" atas pengurusan itu. Menurut Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, Dinas Pendidikan merasa bahwa pekerjaan mengurus hal itu akan berakhir sia-sia karena semua keputusan dan penyaluran dana bagi inpassing dilakukan langsung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Akibatnya, orang-orang di Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota tak mendapat "cepretan" atau upeti.
Soal buruknya kualitas kelembagaan, evaluasi UNDP ayas Indeks Pembangunan Manusia Indonesia hanya memberi nilai 4 (empat) dalam skala 7 (tujuh) dan mengalami stagnasi selama 4 (empat) tahun berturut-turut sejak 2009 sampai 2012. Yang mencengangkan adalah terjadinya kenaikan dalam Indeks Ginie dari 0,37 menjadi 0,41 dalam kurun waktu yang sama. Artinya, kesenjangan pendapatan antara kaya - miskin kian melebar. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Pada tataran nasional, kondisi ini cukup membahayakan.
Sementara itu, kondisi di lapangan tentu jauh lebih rumit dari paparan angka tadi. Sejak adanya keputusan pemerintah mengalokasikan anggaran bidang pendidikan menjadi 20%, pihak yang diuntungkan adalah para guru PNS. Ada sebuah ilustrasi menarik dari seorang kompasianer yang mantan wartawan majalah remaja tentang kesenjangan tadi. Di Jakarta, seorang guru PNS dapat menerima hampir Rp 9 juta sebulan untuk golongan IV. Sebaliknya, banyak guru swasta hanya memperoleh gaji di bawah UMP/ UMR yang jumlahnya berkisar Rp 600 - Rp 800 ribu. Bahkan masih ada yang menerima gaji dibawah Rp 250 ribu. Terutama "sekolah gurem" di daerah (kabupaten/kota). Ini gambaran di tahun 2010.
Gambaran kesenjangan pendapatan antara guru PNS dan non PNS dijelaskan lebih gamblang oleh Walikota Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah. Dengan naiknya derajat kesejahteraan (ekonomi), kinerja guru PNS mestinya meningkat. Ditegaskan oleh pimpinan daerah itu, meski pemerintah seolah memanjakan mereka, namun tidak ada perubahan yang signifikan dalam dunia pendidikan kita. Paling tidak, pernyataan itu selaras dengan paparan UNDP. Angka Partisipasi Murni (APM) meski naik, tapi baru mencapai tingkat SMP. Untuk tingkat SMA dan perguruan tinggi masih perlu kerja keras.
Ironi negeri yang pernah dijuluki jamrud katulistiwa ini kian menjadi karena kuatnya praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di segala segi dan lini. Sejak pertengahan 1970-an, kerusakan dunia pendidikan nasional sebenarnya telah mengemuka. Di jaman rejim militeristik Orde Baru itu pernah ada program KPG (Kursus Pendidikan Guru) bagi guru-guru SD (Sekolah Dasar) yang belum berbekal ijasan setara SPG/ SMA. Kursus yang diampu oleh para guru SPG (Sekolah Pendidikan Guru) ini juga menjadi "ajang bisnis" bagi Kepala Dinas Pendidikan baik secara langsung maupun melalui orang-orang kepercayaannya.
Almarhumah ibu kandung kami (Atiatoen) dinyatakan tidak lulus bukan karena tak mampu memenuhi kewajiban peserta didik (kursus). Hanya karena tak bersedia menyerahkan "upeti" kepada istri Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten saat itu, mantan anggota Staf Putri Tentara Pelajar ini pernah tidak diberi kesempatan melakukan inpassing selama lebih dari 15 tahun. Terakhir, karena alasan capek dan sumpeg, beliau mengajukan pensiun dini pada usia 56 tahun setelah mengabdi sekitar 36 tahun di kantong-kantong gerilya, merintis sekolah di Rembang dan terakhir di kota tempat beliau dibesarkan dengan pangkat/holongan IIIC. Beliau memilih jadi orang biasa, bukan veteran pejuang kemerdekaan meski memiliki bukti otentik dan sejumlah saksi yang menguatkan. Satu hal yang senantiasa saya ingat, beliau menegaskan bahwa ”guru bukan buruh”. Buruh berunjuk rasa itu jamak. Tapi jika guru melakukannya juga berarti merupakan ”berita duka”. Masih banyak cara beradab menunjukkan ketidaksetujuan terhadap perilaku pemimpin yang menyimpang.
Tulisan ini dapat juga dibaca di : kompasiana.com.
Soal buruknya kualitas kelembagaan, evaluasi UNDP ayas Indeks Pembangunan Manusia Indonesia hanya memberi nilai 4 (empat) dalam skala 7 (tujuh) dan mengalami stagnasi selama 4 (empat) tahun berturut-turut sejak 2009 sampai 2012. Yang mencengangkan adalah terjadinya kenaikan dalam Indeks Ginie dari 0,37 menjadi 0,41 dalam kurun waktu yang sama. Artinya, kesenjangan pendapatan antara kaya - miskin kian melebar. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Pada tataran nasional, kondisi ini cukup membahayakan.
Sementara itu, kondisi di lapangan tentu jauh lebih rumit dari paparan angka tadi. Sejak adanya keputusan pemerintah mengalokasikan anggaran bidang pendidikan menjadi 20%, pihak yang diuntungkan adalah para guru PNS. Ada sebuah ilustrasi menarik dari seorang kompasianer yang mantan wartawan majalah remaja tentang kesenjangan tadi. Di Jakarta, seorang guru PNS dapat menerima hampir Rp 9 juta sebulan untuk golongan IV. Sebaliknya, banyak guru swasta hanya memperoleh gaji di bawah UMP/ UMR yang jumlahnya berkisar Rp 600 - Rp 800 ribu. Bahkan masih ada yang menerima gaji dibawah Rp 250 ribu. Terutama "sekolah gurem" di daerah (kabupaten/kota). Ini gambaran di tahun 2010.
Gambaran kesenjangan pendapatan antara guru PNS dan non PNS dijelaskan lebih gamblang oleh Walikota Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah. Dengan naiknya derajat kesejahteraan (ekonomi), kinerja guru PNS mestinya meningkat. Ditegaskan oleh pimpinan daerah itu, meski pemerintah seolah memanjakan mereka, namun tidak ada perubahan yang signifikan dalam dunia pendidikan kita. Paling tidak, pernyataan itu selaras dengan paparan UNDP. Angka Partisipasi Murni (APM) meski naik, tapi baru mencapai tingkat SMP. Untuk tingkat SMA dan perguruan tinggi masih perlu kerja keras.
Ironi negeri yang pernah dijuluki jamrud katulistiwa ini kian menjadi karena kuatnya praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di segala segi dan lini. Sejak pertengahan 1970-an, kerusakan dunia pendidikan nasional sebenarnya telah mengemuka. Di jaman rejim militeristik Orde Baru itu pernah ada program KPG (Kursus Pendidikan Guru) bagi guru-guru SD (Sekolah Dasar) yang belum berbekal ijasan setara SPG/ SMA. Kursus yang diampu oleh para guru SPG (Sekolah Pendidikan Guru) ini juga menjadi "ajang bisnis" bagi Kepala Dinas Pendidikan baik secara langsung maupun melalui orang-orang kepercayaannya.
Almarhumah ibu kandung kami (Atiatoen) dinyatakan tidak lulus bukan karena tak mampu memenuhi kewajiban peserta didik (kursus). Hanya karena tak bersedia menyerahkan "upeti" kepada istri Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten saat itu, mantan anggota Staf Putri Tentara Pelajar ini pernah tidak diberi kesempatan melakukan inpassing selama lebih dari 15 tahun. Terakhir, karena alasan capek dan sumpeg, beliau mengajukan pensiun dini pada usia 56 tahun setelah mengabdi sekitar 36 tahun di kantong-kantong gerilya, merintis sekolah di Rembang dan terakhir di kota tempat beliau dibesarkan dengan pangkat/holongan IIIC. Beliau memilih jadi orang biasa, bukan veteran pejuang kemerdekaan meski memiliki bukti otentik dan sejumlah saksi yang menguatkan. Satu hal yang senantiasa saya ingat, beliau menegaskan bahwa ”guru bukan buruh”. Buruh berunjuk rasa itu jamak. Tapi jika guru melakukannya juga berarti merupakan ”berita duka”. Masih banyak cara beradab menunjukkan ketidaksetujuan terhadap perilaku pemimpin yang menyimpang.
Tulisan ini dapat juga dibaca di : kompasiana.com.
0 komentar:
Posting Komentar