Foto: googling. |
Ancaman integritas kebangsaan kita sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya adalah akibat praktik politik sektarian yang merajalela di semua lembaga negara. Sistem politik yang dibangun dan dilaksanakan pasca 1998 semakin menjauhkan dari semangat kemerdekaan Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Selain korupsi yang telah merebak ke segala sisi kehidupan dan berdampak negatif yang lebih luas serta strategis, banyak upaya sistematis lain yang nampaknya baru disadari setelah tingkat kerusakannya sangat tinggi. Wajar jika seorang Djuyoto Suntani meramalkan Indonesia akan pecah menjadi 17 bagian wilayah pada tahun 2015, apapun sebutannya. Gejalanya memang sudah nampak dan cenderung menguat.
Sebenarnya potensi disintegritas nasional telah berlangsung sejak awal kemerdekaan. Di masa revolusi, usaha kudeta pernah coba dilakukan oleh Batalyon 10 di ibukota RI saat itu, Yogyakarta. Beberapa saat kemudian muncul pemberontakan PKI di Madiun 1948, Angkatan Perang Ratu Adil di Sulawesi serta DI/TII di Jawa Barat dan sebagainya. Semua percobaan kudeta tadi gagal karena masih bisa diatasi dengan semangat revolusi kemerdekaan yang menyala. Sayangnya, ketika Indonesia mendapat kesempatan memperbaiki dirinya karena "ketiban rejeki" minyak bumi, para pemimpin saat itu (Orde Baru) justru tengah asyik dengan dirinya. Ketahanan nasional kita yang dibangun dengan fondasi kebinekaan justru dieliminasi dengan pendekatan militeristik yang melemahkan sendi-sendi dasar berkehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di ujung Barat Indonesia padam karena dihantam tsunami 2004. Sementara itu, Organisasi Papua Merdeka di Ujung Timur justru masih menyala sampai sekarang.
Masalah ketahanan nasional di masa reformasi justru kian dilemahkan oleh para penerima amanat. Yakni partai-partai politik yang lahir dari banyak peristiwa berdarah: Sabtu Kelabu (27 Juli 1995) di sekitar kantor pusat DPP PDI, Tragedi Trisakti serta Semanggi I dan II. Disebut hanya sebagai pegantian baju karena sebenarnya dilakukan para pemain lama yang berganti baju warna-warni. Tak ubahnya bunglon yang hidup dari benalu.
Akibat terbesar dari praktik politik sektarian yang menghebat pada dasawarsa terakhir, semua unsur utama ketahanan nasional Indonesia kian melemah. Ketahanan ideologi negara yang berdasar Pancasila berusaha sekuat tenaga ingin diganti dengan ideologi yang mengatasnamakan agama oleh PKS dengan menyebar isu pemberlakuan kembali Piagam Jakarta, misalnya. Ketika isu ini tak mendapat respon positif dari umat muslim pada umumnya, mereka berubah haluan jadi nasionalis dengan menggandeng paduan suara kampanye PKS dari gereja Ende ??? Yang lebih hebat tentunya sikap koepig ( ndableg /tambeng - Jawa) seorang Ansory Siregar yang masih bersikukuh menjegal #RUUKepalangmerahan dengan terus berupaya memasukkan hal-hal yang bertentangan dengan tatanan (konstruksi) hukum nasional dan etika pergaulan internasional. Begitu mudahnya berganti haluan dalam sekejap. Mungkin khawatir dengan tekanan publik atas kasus impor daging sapi yang menyeret Ketua Umum-nya, Lutfi Hasan Ishak sehingga banyak yang menyebut akronis partai itu jadi Partai Kepala Sapi ? Atau, boleh jadi ada rasa was-was dengan kuatnya perlawanan para sukaRelawan PMI ? Inikah gambar telanjang para pemburu rente??? Wallahu a'lam bissawab.
Yang jelas, ketahanan nasional suatu bangsa merdeka tanpa fondasi ketahanan ideologi sama artinya manusia tanpa hati. Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 adalah ideologi visioner yang lentur. Dan ini diakui oleh banyak pemimpin negara lain yang kini lebih maju pembangunan sumber daya manusianya dari pada Indonesia seperti India. Kita yang memiliki justru sering galau akibat salah persepsi dan aktualisasi. Tanpa perlu mengulang kesalahan P4 yang bagus di tataran ide dasar, tapi rusak karena faktor manajerial yang diliputi praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Transformasi budaya berpikir kritikal yang telah mengikuti alur perjalanan gerakan masyarakat madani selama ini perlu direkonstruksi agar arahnya lebih jelas dan dengan rambu-rambu yang tegas. Tak perlu sungkan atau malu mengakui kekeliruan dalam memilih pendekatan yang memberi mandat berlebih kepada partai-partai politik yang justru jadi bumerang.
Inilah ujian berat pertama pemimpin Indonesia pasca pemilu 2014. Masalah ketahanan nasional wajib dikuatkan bukan karena ramalan perpecahan bangsa seperti digambarkan Djuyoto Suntani atau pemberlakuan AFTA. Yang diperlukan adalah ispirator yang mampu merekonstruksi gerakan masyarakat madani Indonesia agar arahnya menuju visi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Sebenarnya potensi disintegritas nasional telah berlangsung sejak awal kemerdekaan. Di masa revolusi, usaha kudeta pernah coba dilakukan oleh Batalyon 10 di ibukota RI saat itu, Yogyakarta. Beberapa saat kemudian muncul pemberontakan PKI di Madiun 1948, Angkatan Perang Ratu Adil di Sulawesi serta DI/TII di Jawa Barat dan sebagainya. Semua percobaan kudeta tadi gagal karena masih bisa diatasi dengan semangat revolusi kemerdekaan yang menyala. Sayangnya, ketika Indonesia mendapat kesempatan memperbaiki dirinya karena "ketiban rejeki" minyak bumi, para pemimpin saat itu (Orde Baru) justru tengah asyik dengan dirinya. Ketahanan nasional kita yang dibangun dengan fondasi kebinekaan justru dieliminasi dengan pendekatan militeristik yang melemahkan sendi-sendi dasar berkehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di ujung Barat Indonesia padam karena dihantam tsunami 2004. Sementara itu, Organisasi Papua Merdeka di Ujung Timur justru masih menyala sampai sekarang.
Masalah ketahanan nasional di masa reformasi justru kian dilemahkan oleh para penerima amanat. Yakni partai-partai politik yang lahir dari banyak peristiwa berdarah: Sabtu Kelabu (27 Juli 1995) di sekitar kantor pusat DPP PDI, Tragedi Trisakti serta Semanggi I dan II. Disebut hanya sebagai pegantian baju karena sebenarnya dilakukan para pemain lama yang berganti baju warna-warni. Tak ubahnya bunglon yang hidup dari benalu.
Akibat terbesar dari praktik politik sektarian yang menghebat pada dasawarsa terakhir, semua unsur utama ketahanan nasional Indonesia kian melemah. Ketahanan ideologi negara yang berdasar Pancasila berusaha sekuat tenaga ingin diganti dengan ideologi yang mengatasnamakan agama oleh PKS dengan menyebar isu pemberlakuan kembali Piagam Jakarta, misalnya. Ketika isu ini tak mendapat respon positif dari umat muslim pada umumnya, mereka berubah haluan jadi nasionalis dengan menggandeng paduan suara kampanye PKS dari gereja Ende ??? Yang lebih hebat tentunya sikap koepig ( ndableg /tambeng - Jawa) seorang Ansory Siregar yang masih bersikukuh menjegal #RUUKepalangmerahan dengan terus berupaya memasukkan hal-hal yang bertentangan dengan tatanan (konstruksi) hukum nasional dan etika pergaulan internasional. Begitu mudahnya berganti haluan dalam sekejap. Mungkin khawatir dengan tekanan publik atas kasus impor daging sapi yang menyeret Ketua Umum-nya, Lutfi Hasan Ishak sehingga banyak yang menyebut akronis partai itu jadi Partai Kepala Sapi ? Atau, boleh jadi ada rasa was-was dengan kuatnya perlawanan para sukaRelawan PMI ? Inikah gambar telanjang para pemburu rente??? Wallahu a'lam bissawab.
Yang jelas, ketahanan nasional suatu bangsa merdeka tanpa fondasi ketahanan ideologi sama artinya manusia tanpa hati. Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 adalah ideologi visioner yang lentur. Dan ini diakui oleh banyak pemimpin negara lain yang kini lebih maju pembangunan sumber daya manusianya dari pada Indonesia seperti India. Kita yang memiliki justru sering galau akibat salah persepsi dan aktualisasi. Tanpa perlu mengulang kesalahan P4 yang bagus di tataran ide dasar, tapi rusak karena faktor manajerial yang diliputi praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Transformasi budaya berpikir kritikal yang telah mengikuti alur perjalanan gerakan masyarakat madani selama ini perlu direkonstruksi agar arahnya lebih jelas dan dengan rambu-rambu yang tegas. Tak perlu sungkan atau malu mengakui kekeliruan dalam memilih pendekatan yang memberi mandat berlebih kepada partai-partai politik yang justru jadi bumerang.
Inilah ujian berat pertama pemimpin Indonesia pasca pemilu 2014. Masalah ketahanan nasional wajib dikuatkan bukan karena ramalan perpecahan bangsa seperti digambarkan Djuyoto Suntani atau pemberlakuan AFTA. Yang diperlukan adalah ispirator yang mampu merekonstruksi gerakan masyarakat madani Indonesia agar arahnya menuju visi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
0 komentar:
Posting Komentar