Sabtu, 08 Maret 2014

Memelihara Kebodohan


Di lingkungan pergaulan kita, sering muncul ungkapan: bodoh, goblok, totol, bego, dongok, otak udang, IQ jongkok dan sebagainya. Ungkapan yang cenderung menghakimi dan menyakitkan bagi yang ditunjuk dengan kata itu meski dalam nada berseloroh.  Jika yang dituju adalah orang dekat, sahabat kental atau orang yang suka bercanda, ungkapan itu mungkin akan ditanggapi sebagai hal biasa. Bukan sesuatu yang menyakitkan perasaan. Sebaliknya bagi orang-orang yang tidak biasa menerima ungkapan seperti itu dan perasa, tanggapan bisa beragam. Jika berani membalas, ia atau mereka akan bereaksi keras. Mulai dari ungkapan dampai tindakan yang tentunya membahayakan kedua pihak. Kalau tak berani membalas seketika ini akan menjadi dendam yang mungkin saja tak ada batas akhirnya. Saling berbalas dendam. 

Pertama jadi guru, di depan para siswa yang kebanyakan perempuan, saya berucap bahwa tidak ada siswa bodoh. Yang ada itu rajin atau malas belajar. Dan belajar itu sepanjang hayat dikandung badan alias tak ada batasan umur. Semakin banyak hal yang dapat kita pelajari, semakin dalam juga kemampuan kita mengenal diri dan kehidupan di alam fana ini. 

Manusia pada dasarnya adalah pembelajar dalam arti menyukai hal-hal baru untuk diketahui dan dipahami. Dalam proses belajar, ada yang mendapat bimbingan dari orang lain baik orang tua, guru atau siapapun. Tetapi ada juga yang mencoba belajar sendiri (otodidak). Biasanya, yang mendapat bimbingan akan lebih mampu menyesuaikan diri karena berlangsung dalam suatu proses interaktif. Selain sisi kognitif, banyak sisi kemanusiaan lainnya yang akan dapat dieksplorasi sampai maksimal. Dengan kata lain, selain cerdas secara intelektual, orang-orang yang belajar dengan bimbingan orang lain (khususnya dari ahli) cenderung lebih berkemampuan memaksimalkan kecerdasan emosional dan sosialnya. 



Orang yang suka memelihara kebodohan mungkin saja cerdas secara kognitif. Tapi bernyali kecil dalam mempertahankan kebenaran dan keyakinan. Selalu mencari tempat berlindung aman dan menganggap segala urusan dan hubungan antara manusia dengan cara transaksional. Kalau perlu dengan cara mengasihani diri. Menganggap dirinya sebagai orang yang paling patut dikasihani. Dalam bahasa lugas adalah selalu minta dibelas-kasihani ketika terdesak. Dan tak pernah segan untuk berhianat (istilah lain dari membiarkan amanat berlalu tanpa makna).

Karena itu, orang yang suka memelihara kebodohan adalah orang yang enggan atau sengaja menolak fakta dan makna pengalaman hidup. Menganggap diri paling pintar atau minimal serba tahu. Sehingga menyepelekan kemampuan orang lain. Dalam keseharian kita, orang seperti ini mudah ditemui di kala keadaan normal dan formal. Ketika tiba waktu abnormal dan cenderung darurat yang memerlukan ketajaman visi serta bergerak cepat, mereka akan menghilang atau bersembunyi di balik formalitasnya. Apalagi kalau ditambah dengan keharusan mengambil risiko kehilangan sedikit dari hal yang dibanggakan/ disukai.

Di akhir catatan ini, saya ingin mengingatkan diri agar terhindar dari hal tsb di atas. Bagaimanapun juga, kita adalah anggota komunitas apapun namanya: masyarakat, bangsa, suku atau kelompok. Memelihara kebodohan hanya akan merugikan diri dalam jangka panjang. Kalau kita tidak merasakan langsung dampaknya, orang-orang terdekat (biasanya anak keturunan/ anggota keluarga) yang akan merasakan akibatnya kelak. Naudzubillahi min dzalik.

Catatan : tulisan serupa ada di sini.      

0 komentar:

Posting Komentar