Di tengah maraknya warna-warni kontestan pemilu legislatif, ada satu cerita sedih dari ujung Barat tanah air Indonesia. Tepatnya ibukota Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Banda Aceh. Kisah hampa seorang gadis Raisa Kamila yang menolak jadi Indonesia. Dengan bahasa yang sangat tertata, ia bercerita betapa Indonesia yang dilihat di layar kaca, dibaca dalam beragam buku sejarah, didengar dari celoteh teman-teman sebaya dan entah apa lagi, tak membuatnya merasa jatuh cinta kepada tanah lahirnya. Nada kecewa begitu dalam, seolah tak ada harapan lagi untuk menjadi Indonesia. Pihak yang menjadi alasan kekecewaannya adalah pemerintah yang tak mampu menyejahterakan rakyatnya.
Jika pandangan seorang gadis seperti Raisa mungkin masih dianggap emosional, maka gambaran anggota Dewan Perwakilan Daerah yang juga istri Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas dengan isi serupa tentu tak bisa dianggap remeh. Dalam satu alinea, beliau menuturkan hal sebagai berikut:
" Masyarakat di hampir seluruh wilayah negeri ini, terutama di daerah Timur dan Tengah, apalagi yang berada di sisi terdepan dan perbatasan, umumnya tidak merasakan jangkauan tangan pemerintah. Apalagi perhatian presiden. Sampai-sampai, sebagian besar penduduk mengatakan presiden mungkin lebih sibuk dengan dirinya sendiri atau hal besar di Jakarta dan mereka telah terbiasa oleh hal itu".
Selain dua pandangan yang telah menjadi rahasia umum di atas, ada lagi sebuah hasil analisis dari mantan Kepala Badan Intelejen Strategis (BaIS) yang dengan gamblang menggambarkan betapa ringkihnya praktik hukum di Indonesia. Akibat dari ketidak-tegasan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsinya, semua proses dan hasil Pemilu baik legislatif maupun presiden batal demi UUD 1945. Kutipan panjangnya adalah :
Dalam sumpah prajurit di hadapan Tuhan, dinyatakan bahwa setiap anggota
TNI akan setia kepada pemerintah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta
tunduk kepada hukum. Pasal 7 ayat 2 UU Nomor 34/2004 tentang TNI menyebutkan,
“Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara".
Dengan demikian, secara jelas masyarakat Indonesia dapat melihat bahwa pelaksanaan Pemilu 2014, apabila masih menggunakan
Undang-Undang Nomor 42/2008, hasilnya inkonstitusional atau tidak berdasarkan
UUD 1945. Pihak-pihak yang menang, baik Presiden, Wakil Presiden, maupun
anggota DPR, semuanya tidak sah karena menggunakan produk hukum yang
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Di sisi lain, dari aspek hukum
humaniter, pemberontakan bersenjata atau chaos yang mengarah ke perang saudara,
karena menggunakan berbagai jenis senjata, masuk kategori konflik bersenjata
internal, di mana rezim hukum yang berlaku adalah rezim hukum humaniter. Ini
artinya, kekuasaan penuh berada di tangan militer. Dengan demikian, bila hal
ini terjadi di Indonesia, kewenangan dan kewajiban untuk bertindak mengatasi
chaos berada di tangan TNI. Bila TNI tidak bertindak, pemimpin TNI (dalam hal ini Panglima) dapat dituntut
sebagai pelanggar HAM karena melakukan pembiaran yang dapat mengakibatkan
jatuhnya korban. Karena itu, TNI punya alasan kuat untuk melakukan kudeta konstitusional atas hasil Pemilu 2014.
Kondisi faktual yang berlaku selama masa reformasi ini banyak memberi gambaran yang sangat jelas bahwa lembaga legislatif di semua tingkat kewilayahan seringkali menumbuhkan bibit perpecahan horisontal maupun vertikal. Cara atau praktik politik sekterian yang mendulukan kepentingan kelompok atau golongan selalu dipertontonkan dalam masa-masa pemilu seperti sekarang ini. Bahkan, banyak usaha melanggar hukum yang sengaja dihadirkan saat-saat kampanye legislatif maupun presiden dan kepala daerah. Misalnya melanggar aturan lalu lintas, melakukan perusakan lingkungan dengan memasang alat peraga kampanye di pepohonan dan sarana umum dan masih banyak contoh lain yang menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap hukum di masa kampanye cenderung sangat rendah.
Gerakan reformasi yang seharusnya merupakan alasan kuat untuk mengembalikan posisi negara yang mampu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia sesuai amanat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 akhirnya tak lebih sebagai wahana balas dendam. Praktik Ken Arok-isme yang berlumur darah justru dihidupkan lagi dari Senayan. Rasa tanggung jawab atas keutuhan negara Republik Indonesia tak lagi menjadi dasar berpijak dalam mengambil berbagai keputusan politik. Hal serupa juga terjadi di pemerintahan yang dikuasai oleh sekte-sekte politik. Akibatnya, cerita yang digambarkan oleh Raisa dan GKR Hemas dianggap angin lalu.
Wajar sekali mantan Kepala BaIS memberi peringatan keras akan potensi pengambil-alihan paksa secara militer oleh TNI yang memiliki legitimasi kuat atas ancaman integritas negara-bangsa Indonesia. Dan jika ini yang terjadi, bukan hanya gerakan masyarakat madani (sipil) yang selama ini berusaha kuat agar tidak terjadi pengulangan atas kekuasan negara di tangan militer mengutuk para politisi di DPR dan semua partai politik sebagai penghianat bangsa Indonesia. Tetapi segenap warga, khususnya yang selama ini merasa dianak-tirikan oleh beragam sebab.
Pemilu kali ini bukan lagi ajang yang tepat untuk mengumbar syahwat politik seperti periode sebelumnya. Apatisme dan sinisme publik yang cenderung memuncak dalam beberapa tahun terakhir atas perilaku congkak, pongah dan biadab karena tak lagi mengindahkan aturan hukum positif dan khususnya etika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sangat mungkin mencapai titik nadirnya pada pemilu kali ini. Masyarakat tak lagi bisa dibohongi dengan iklan-iklan politik yang narsistik dan memuakkan. Apalagi dengan iming-iming uang receh 10 - 100 ribu rupiah.
0 komentar:
Posting Komentar