Jumat, 04 April 2014

Wajah-Wajah di Lembar Plastik dan Layar Kaca

karya kreatif sukarelawan PMI Salatiga.

Jelang masa tenang Pemilu Legislatif 2014, di sekeliling rumah kami banyak muncul kejanggalan kalau tak bisa disebut kegalauan. Wajah-wajah di lembaran plastik: MMT, stiker, kalender dan beragam alat peraga kampanye lain. Semua ingin mengekspresikan diri sesuai imajinasi masing-masing. Tapi pesan yang disampaikan sama, pilih aku. Banyak di antaranya berada di balik nama orang lain yang lebih tinggi tingkat kewilayahannya. Katakanlah, seorang calon di kabupaten yang bersanding dengan calon di tingkat nasional. 

Fenomena lain adalah munculnya banyak calon yang selama ini diketahui kapasitas pribadinya tidak memadai untuk bertarung di "dunia keras" perpolitikan. Ada yang karena suami seorang tokoh, istri yang selama ini tak pernah bergaul dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya tiba-tiba muncul sebagai calon wakil rakyat dari partai politik tertentu yang gencar berkampanye di TV. Mungkin akan muncul pertanyaan standar, salahkah ? Tidak, semua warga negara yang memenuhi ketentuan prosedural boleh mencalonkan dan/atau dicalonkan sebagai wakil partai politik. Tapi tidak semua calon itu memenuhi kapasitasnya sebagai wakil rakyat. Di sinilah inti persoalannya.

Menjadi wakil partai politik dalam badan legislatif tidak berarti sama dengan wakil rakyat dalam pengertian umum. Untuk menjadi seorang wakil partai politik, ia bisa dari kader atau siapapun yang (dianggap) akan mampu menjadi pengumpul suara (vote getter). Wajah-wajah yang dikenal umum (public figure) semisal aktris, penyanyi, mantan atlet atau tokoh lain biasanya  termasuk kategori ini. Apakah mereka punya kapasitas menjadi wakil rakyat ? Bisa ya, bisa juga tidak. Meminjam istilah satu acara kuis, survey membuktikan bahwa lebih banyak public figure yang gagal memenuhi kapasitas sebagai wakil rakyat dan terpaksa mengakhiri karir politiknya di balik jeruji rumah-rumah tahanan sebagai pesakitan. Kebanyakan terjerat kasus korupsi dan tindak asusila.

Menjadi wakil rakyat yang membawa keluh kesah dan harapan hidup lebih baik di masa depan tak semua wakil partai politik mampu melakukannya. Apalagi memercayai jargon "vox populi vox dei", suara rakyat adalah suara tuhan merupakan tambahan beban yang acapkali dipakai untuk mengasihani diri ketimbang menjadi kewajiban melekat seorang yang diberi amanah. Di sini terjadi missing link, ada tautan yang hilang antara realitas dan harapan

Fenomena menarik public figure dalam kancah perpolitikan pada akhirnya hanya menguatkan sinisme publik bahwa partai politik itu telah gagal melakukan fungsi utamanya sebagai pusat pendidikan politik yang akan membawa kemajuan bagi masyarakat, bangsa dan negaranya. Hanya dalam hitungan jari mereka yang mampu bersikap seperti mantan pasangan  Bupati Garut Aceng Fikri, Dicky Chandra. Kebanyakan public figure yang alih profesi jadi politisi justru terjebak dalam lingkaran setan pusaran arus liar sektarianisme yang ada di balik nama dan tokoh utama suatu partai politik. Sekte-sekte yang tak lagi berpijak pada paham bangsa-negara Indonesia yang dasar-dasarnya telah dijelaskan dalam Pembukaan UUD 1945.

Pemilu legislatif 2014 ini nampaknya akan menjadi satu titik nadir bagi dunia perpolitikan praktis di Indonesia karena meningkatnya kesadaran dan pemahaman masyarakat. Media sosial punya peran besar dalam menguatkan aliran informasi yang mencerahkan dan secara langsung atau tidak melalui pesan-pesan kreatif telah menjadi pijakan utama dalam menentukan sikap seorang pemilih. Ini dibuktikan di lapangan, banyak upaya money politics ditanggapi sikap: terima uangnya, jangan pilih orang atau partainya. Keculasan yang pernah terjadi di bilik suara dengan perangkat ponsel sebagai bentuk transaksi dibalik pintu  nampaknya tidak akan berulang pada pemilu sekarang. Ada kesadaran yang kian menguat bahwa dampak transaksional itu sangat tidak sepadan dengan nilai uang dan masa depan yang dipertaruhkan.

Akhirnya wajah-wajah di balik lembar plastik MMT para calon anggota legislatif dan layar kaca TV partai politik yang bertebar narsisme perlu belajar  dari suka-relawan PMI seperti dalam gambar di atas. Sikap yang diinisiasi oleh gerakan kemanusiaan dan masyarakat sipil (civil society). Bahwa yang dituhankan oleh partai dan para calegnya adalah berhala. Bukan Tuhan Maha Kuasa atas semesta alam ini. Pelajaran yang sangat mahal dalam proses demokrasi dan demokratisasi di Indonesia.  Tak ada lagi vox populi vox dei. 

       

0 komentar:

Posting Komentar