Rabu, 28 Agustus 2013

Inspirasi – Antara Banyak dan Baik


Pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) – dalam jaringan, kata banyak mengandung dua arti. Sebagai kata kerja, banyak itu mengembang-biakkan, menambah nilai, memperhebat dan lain-lain. Dan sebagai kata sifat yang menjelaskan hal-hal tentang jumlah yang lebih dari satu sampai tak terhingga. Dari kata ini, kita akan tahun tentang kualitas (mutu, kadar, isi)  dan kuantitas (angka, nilai, harga atau jumlah). Jika keduanya disandingkan atau digabungkan akan muncul performa atau kinerja. Agar tidak meluas ke dalam perbincangan yang tak berarah, pengertian banyak yang digunakan dalam tulisan ini adalah arti banyak yang saling mengisi dengan arti kata baik dalam menunjukkan kinerja atau performa.

Dalam buku harian (diary) almarhumah ibu kandung kami sebagai siswi atau murid di Sekolah Guru Putri (SGP) yang kemudian berganti nama menjadi SGB (Sekolah Guru bagian B) selalu ada yang khas. Buku yang diterima oleh setiap siswi sebelum meninggalkan sekolah karena telah dinyatakan lulus atau tamat. Bentuknya kecil, serupa buku saku, tapi isinya luar biasa. Di halaman awal ada tulisan atau lebih tepatnya nasihat yang ditulis sangat rapi, jelas dan indah. Pada buku ibu, tertulisan kalimat singkat “pelan tapi pasti, bukan yang banyak itu baik, tapi yang baik pastilah yang banyak”. Tulisan Ibu R.A. Sri Ormijatie, adik kandung pahlawan nasional dr. Soetomo ini sangat membekas dan menjadi pegangan erat dalam diri almarhumah Ibu Atiatoen.

Sepanjang ingatan, beberapa kali usaha untuk menanyakan makna kalimat atau nasihat itu tak pernah berujung jelas. Ibu selalu menjawab, coba renungkan dan cari tahu menurut imajinasi atau nalarmu. Tentang anak kalimat pertama “ pelan tapi pasti” adalah ungkapan umum yang sering terdengar dari beragam penuturan, cerita dan nasihat yang intinya menjelaskan bahwa dalam melakukan perjalanan apapun di dunia ini pastikan arahnya jelas agar dapat mencapai tujuan hidup yang jelas pula. Nasihat yang berarti sama dengan slow but sure  atau alon-alon asal kelakon. Ada tiga bahasa untuk kalimat yang sama. Semua menekankan makna kesabaran. Karena sabar adalah modal utama meraih sukses, dunia dan akhirat.

Dari banyak cerita orang sukses, semua memegang makna kesabaran. Ada yang mengartikan hal itu sebagai proses panjang dan berliku. Tidak ada yang instan dalam menggapai sukses yang sebenar-benarnya. Disipllin, kerja keras dan memelihara komitmen (janji awal) dan masih banyak lagi makna kesabaran. Bagaimana kaitan dengan anak kalimat “bukan yang banyak itu baik, tapi yang baik pastilah yang banyak?”

Di awal tulisan ini telah diuraikan sedikit tentang makna anak kalimat tersebut yaitu mengenai kinerja atau performa. Secara ringkas, kinerja sama dengan prestasi atau hasil kerja yang diukur dengan satuan (berkaitan dengan makna banyak) dan mutu (tentang yang baik).  MSP Hasibuan (2001) mengemukakan “kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Akuntansi menyebutnya dengan istilah isi mengungguli bentuk untuk penyajian laporan yang bermutu tinggi dengan predikat wajar tanpa syarat atau pengecualian.

Begitu dalamnya makna kalimat di atas sampai perlu perenungan yang sangat panjang. Lebih dari tiga puluh sejak mempertanyakannya, baru beberapa tahun belakangan ini tahu. Bahwa, seorang Atiatoen yang “hanya” guru SD disegani banyak orang, terutama bekas murid dan teman kerjanya. Ternyata, beliau memang bukan sekadar pengajar yang memindahkan ilmu, atau pendidik yang mampu memberi motivasi, tapi juga sebagai jaminan mutu. Meski demikian, beliau tidak pernah setuju dengan sebutan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang sering menjadi lagu wajib ketika nasibnya diombang-ambingkan oleh sikap sombong orang kantoran di lingkungan dinas maupun kementerian pendidikan.

Sebagai anak seorang pemuka agama di kampungnya, Atiatoen kecil lebih suka bergaul dengan tetangga yang tuna netra dari pada bermain pasir di pinggir Sungai Luk Ulo bersama teman-teman sebayanya. Hal ini menumbuhkan perilaku yang mudah tersentuh oleh  ketimpangan sosial, ketidak-adilan dan sejenisnya. Dibalik ketegasan sikapnya yang membuat banyak orang segan, hati beliau sangat lembut. Hal inilah yang sering dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk berbuat lacur dan hiatanat kepada beliau. Keteguhan hati menempatan kejujuran di atas segala perbuatannya sesekali memang membuat beliau dihadapkan pada suasana dilematis yang kemudian disertai dengan kesediaan diri berkorban bagi semua orang tanpa pandang bulu.

Satu dilema yang sampai sekarang menjadi batu sandungan bagi keluarga, anak keturunan beliau, adalah komitmen atas amanah menjaga “harta” almarhum embah Mochamad Djadjuli yang didului dengan pemanggilan pulang Atiatoen ke kampung halaman dari tugas kedinasannya sebagai guru di SD Latihan Rembang tahun 1953. Ketika itu, almarhumah tengah menyiapkan diri untuk kembali ke Jogja melanjutkan studi sebagai “hadiah” pemerintah bagi para anggota Tentara Pelajar yang aktif mengikuti proses penegakan kemerdekaan bangsa Indonesia seperti yang lainnya. Bahkan, nasihat kepala kantor pendidikan Provinsi Jawa Tengah agar Ibu Atiatoen berpikir ulang atas kesediaannya menerima panggilan tugas kemanusiaan dari orangtua untuk segera pulang kampung juga diabaikan. Termasuk menunda niat dan keinginan itu ketika ditempatkan di SD Pangenrejo 1 Purworejo.

Keteguhan hati dan kesadaran berbakti kepada orang tua satu-satunya setelah ibu kandung beliau wafat di tahun 1939 mengalahkan semua kepentingan pribadinya. Kesempatan serupa juga diabaikan saat sang suami yang dinikahi tahun 1955 tengah dipercaya oleh Duta Besar Jerman Barat sebagai employee staff dan mengajaknya pindah ke Jakarta. Satu-satunya jabatan tertinggi yang dipercayakan oleh perwakilan negara sahabat itu bagi orang Indonesia. Itulah wujud pengorbanan kedua terbesar bagi sebuah amanat orang tua yang hanya dipahami oleh 10 orang saudara sekandung, tapi tak bagi sebagian anak keturunan mereka. Bahwa amanat adalah wasiat keluarga, bukan keinginan pribadi seorang Atiatoen yang telah banyak berkorban dalam memeliharanya.


Pelajaran besar yang saya petik dari tulisan atau nasihat tetua di atas yang memang benar-benar bijak adalah bahwa untuk melakukan kebaikan jangan pernah berhitung tentang kebanyakan.  Jika kebanyakan berbuat tidak baik, coba dan terus upayakan dengan kebaikan. Ketika yang baik itu menjadi banyak, maka itulah kinerja terbaik dalam kehidupan. Cobalah hadirkan suasana selalu ada yang lebih baik dalam hidupmu, niscaya adil dan sejahtera akan mengikutinya. Di Kampeong Relawan, kebaikan itu ingin diwujudkan secara sungguh-sungguh. Semoga. 

0 komentar:

Posting Komentar