Sabtu, 24 Agustus 2013

Kecil Itu Indah - (Coba) Mengurai Masalah

Kelas gabungan mata pelajaran TIK perlu untuk kuatkan interaktif

Teringat tulisan Bapak Prajudi Atmosudirjo dalam buku Pengambilan Keputusan, orang Indonesia sering beranggapan bahwa keluhan dan kesulitan adalah masalah. Dalam konsep manajemen, suatu hal termasuk kategori masalah jika tujuannya jelas. Dengan pemahaman terakhir, masalah dalam dunia pendidikan di lingkungan SMA Masehi Kebumen adalah faktor penyelenggaraan proses belajar mengajar yang sesuai dengan visi, misi dan aturan internal lembaga dikaitkan dengan visi dan misi pembangunan bidang pendidikan nasional. Dari komentar teman alumni pada tulisan (Coba) Memahami Realita, selain prihatin dan peduli juga diperlukan pemahaman faktor internal dan eksternal atas masalah yang tengah dihadapi oleh almamaternya.

Dari beberapa kesempatan interaktif dengan kepala sekolah dan para guru yang saya anggap cukup tahu perjalanan terakhir proses penyelenggaraan kelembagaan di sekolah ini, saya menangkap kesan bahwa memang ada masalah. Besar atau kecil, luas atau sempit, dalam atau dangkal itu adalah bagian dari kajian atau penelitian yang memang sangat diperlukan untuk menemukan kadar dan cakupan masalah. Yang jelas, semangat dan upaya memelihara kehidupan di lembaga yang dikelola Yayasan Pendidikan Kristen “WIDHI DHARMA” Kebumen ini tetap terpelihara dengan segala keterbatasan.

Dalam satu tulisan, ekonom Faisal Basri, mengangkat satu topik yang sangat menarik perhatian saya. Judulnya Sesat Pikir Pendidikan ini mengurai singkat masalah utama pilihan strategi pembangunan bidang kependidikan yang saat ini bertumpu pada input agar diubah menjadi pendekatan berdasar output.  Dijelaskan bahwa yang kerap jadi perbincangan adalah gaji guru, gedung sekolah rusak, dan kurikulum. Betul kita serba kekurangan atau jauh dari memadai dalam hampir segala hal. Segala hal di sini terkait dengan input pendidikan.

Sebagai orang baru di dunia yang menyangkut martabat manusia di sebuah negara-bangsa ini, banyak hal yang harus sejak awal dipahami sebelum melangkah lebih jauh. Masih berkait dengan tulisan di atas, saya berusaha memahami pola pikir Bang Faisal Basri (sebutan yang biasa saya kemukakan ketika berinteraksi dengan belliau). Dalam kerangka pikir yang kurang lebih sama, bahwa mengacu pada tujuan utama kemerdekaan bangsa Indonesia yang relevan dengan penentuan (pilihan) strategi pembangunan bidang kependidikan nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, maka ada baiknya merombak total pendekatan pendidikan.

Tetapkan dahulu output yang hendak dicapai dan output tersebut terukur. Lazimnya, output pendidikan diukur dari reading literacy rate, scientific literacy rate, mathematical literacy rate, dan kemampuan memecahkan masalah (problem solving). Data berikut tak memuat yang keempat. Pendekatan output menempatkan keluarga sebagai faktor yang sangat penting dalam proses pendidikan. Selain itu adalah innate ability dan peers. Yang terakhir adalah school inputs. Secara sederhana, rumusannya adalah sebagai berikut:
Education = f (family, peers, school inputs, innate ability )
Sejauh ini kita berkutat pada school inputs.
Mengacu pada rumus di atas, pendidikan adalah faktor fungsional dari keluarga, teman sebaya (peers), beragam input sekolah dan kemampuan bawaan (innate ability). Khusus untuk segi input sekolah, untuk tulisan ini, tidak termasuk dalam kategori masalah dan akan menjadi bagian yang mungkin merupakan topik khusus di kesempatan lain. Ringkasnya, ada tiga aspek  yang akan coba diurai pada bagian awal dari serangkaian tulisan berkaitan dengan masalah yang tengah dihadapi oleh SMA Masehi Kebumen saat ini. Yakni faktor keluarga, rekan sebaya dan kemampuan bawaan peserta didik.

Seperti kita tahu, keluarga adalah bagian terkecil dari masyarakat dan bangsa. Pendidikan dalam keluarga sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat secara umum. Jika dalam keluarga itu senantiasa dihadirkan suasana demokratis misalnya, anggota keluarga akan melakukan hal sama di lingkungannya. Hal ini bukan saja pendapat pribadi saya, tapi banyak tulisan yang bersumber dari penelitian mengungkapkannya secara ilmiah dan rinci. Dengan kata lain, suasana pendidikan di dalam keluarga adalah cermin keadaan yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Pada satu paparan, Timothy Wibowo menyuguhkan satu pandangan psikologis yang menurutnya mengejutkan dan menyakitkan yakni kecenderungan penurunan usia psikologis manusia Indonesia berusia 21 tahun dengan perilaku seperti anak usia 11 atau 12 tahun berdasakan perbandingan antara tahun 2001 dan  2011. Dalam satu dasawarsa saja, usia kedewasaan, usia kelayakan dan kepantasan banyak orang Indonesia di awal usia dewasanya berperilaku layaknya anak-anak yang baru memasuki usia akil balik. Penurunan kondisi psikologis ini sebenarnya mudah kita tangkap dari keseharian saat berinteraksi dengan mereka. Sikap manja, suka menuntut, ngambek dan beragam perilaku kekanakan lainnya banyak dikeluhkan para orang tua. Sementara itu, tidak sedikit pula orang tua yang bersikap serupa. Boleh jadi hal ini seperti pepatah “buruk muka cermin dibelah”. Senantiasa menyalahkan orang atau keadaan lainnya.


Mengurai peran keluarga dalam proses pembangunan pendidikan nasional tidak cukup dengan pembahasan satu dua lembar tulisan. Terlalu banyak hal yang saling berpenngaruh dan perlu kajian mendalam. Hal penting yang ingin saya kemukakan dalam tulisan ini adalah faktor (pendidikan dalam) keluarga berdampak sangat luas dan dalam bagi upaya penyelenggaraan pendidikan nasional yang mampu mewujudkan karakter bangsa Indonesia yang pada dasarnya ramah, pantang menyerah dan mengutamakan kebersamaan (gotong royong).  Banyak kajian sejarah dan psikologis yang menguatkan karakteristik itu. (bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar