Minggu, 25 Agustus 2013

Pendongeng di tengah Pesta


Mencari ha-hal unik di sebuah acara berbalut promosi produk rokok yang satu ini cukup sulit juga. Suasana keramaiannya memang sangat terasa dengan adanya panggung besar di tengah lapangan sepakbola alun-alun kota Kebumen yang selama ini jadi tempat favorit warga. Diiringi satu lagu berirama reggae yang cukup manis dan enak didengar telinga, saya masuk ke dalam suasana Pesta Sepeda itu, Minggu 25 Agustus 2013. Keramaian yang sebenarnya ingin saya nikmati sebagai suasana hari bebas kendaraan bermotor (car free day) untuk pertama kalinya. Sayang sekali, keinginan itu belum terwujud dan berganti suasana pesta komunitas penggemar sepeda di Kabupaten Kebumen dan sekitarnya. 
Peserta Pesta Sepeda tengah pulang ke rumah

Satu kebiasaan di lapangan, kaki ini tak ingin berhenti melangkah sebelum lelah. Tak ingat lagi jumlah putaran, sambil melangkah dan terus menatap ke segala arah, hati ini seakan menyuruh kaki berhenti di satu titik beberapa langkah di depan. Sambil bersapa ria dengan kenalan dan tanpa diduga saya menemukan seorang yang selama beberapa bulan belakangan ini ingin ditemui.

Gaya dan penampilan sang pendongeng anak yang pernah didaulat untuk bercerita di depan 11.000 murid Taman Kanak-kanak ini di satu obyek wisata sejarah, benteng van der Wijck, masih sama seperti sedia kala. Ceria dan apa adanya. Memang tak sepolos saat pertama bertemu di arena Gelar Panggung Teater I, Ucok Hasbie,  nama panggilan di komunitas pekerja seni teater Kebumen buat sang pendongeng yang bernama asli Hasbilah Rifa’i ini.

Menu pembuka obrolan tentu soal kesehatan diri dan teman-teman. Sepanjang lebih dari tiga tahun tak bertemu, Ucok yang punya suara khas menggelegar di atas panggung, kian menekuni dunia pendidikan. Sejak setahun terakhir, ia tak lagi jadi guru bantu khusus bidang seni drama di satu SD Islam terkenal di  kota Kebumen. Katanya ingin lebih mendalami dunia yang semula sangat awam bagi alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini. Ketika diberi tawaran seorang kenalan untuk melakukan hal sama di lingkungan perguruan Muhammadiyah Gombong, kesempatan itu tak disia-siakan. Jarak yang cukup jauh dari rumah tinggalnya di desa Candiwulan, sekitar 5 km di sisi Timur kota Kebumen, tak jadi kendala.
“Kapan lagi ada kesempatan emas seperti ini mas ?”, seolah Ucok ingin menjelaskan alasan kepindahannya.

Menikmati kebersamaan yg tlah lama hilang

Gaya sang pendongeng, Ucok Hasbilah Rifai

Kabupaten Kebumen adalah satu dari tiga kabupaten termiskin di Provinsi Jawa Tengah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2009,  angka penduduk miskin berada pada tingkat 25,71% dan cukup jauh dari angka rata-rata Provinsi Jawa Tengah yang berada pada tingkat 17,48%.  Sedikit di atas Kabupaten Wonosobo (25,91%) dan Rembang (25,86). Target menurunkan angka itu menjadi 15,45% di akhir periode kepemimpinan Bupati Buyar Winarso dan Djuwarni di tahun 2015 ini nampaknya cukup sulit terwujud mengingat sedikitnya akselerasi pembangunan yang mengedepankan upaya-upaya mandiri. Dengan komposisi pengeluaran rutin dibanding pengeluaran pembangunan yang masih berada dalam kisaran 70 : 30 persen, target di atas berkesan sangat ambisius dan tidak rasional.

Bincang kecil dengan Ucok Hasbi selalu membawa semangat baru seperti halnya ia memotivasi anak-anak dengan cerita-cerita yang beragam tema. Pernah diajak menyusun dan menyampaikan upaya pemeliharaan lingkungan oleh kantor KLH setempat selama beberapa bulan dengan sasaran utama murid-murid TK se kabupaten. Ia dan teman lain dari komunitas pekerja seni teater tetap menjaga komitmen  untuk senantiasa berupaya mengembangkan kegiatan seni budaya, khususnya drama baik tradisional maupun kontemporer dengan atau tanpa kehadiran saya. Atau dengan atau tidak adanya keterlibatan Dewan Kesenian Daerah serta Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Kebumen.

Semangat membangkitkan minat dan gairah berkesenian bagi masyarakat Kabupaten Kebumen terutama di lingkungan sekolah dan perguruan terus berlangsung sampai ke generasi kedua. Meski masih didominasi oleh alumni Jogja, terutama dari Sanggar Ilir Ikatan Mahasiswa Kebumen di Yogyakarta atau Imakta dan Teater Ego yang dipimpin oleh Putut AS. Dalam pentas ini, kata Ucok Hasbie, mereka hanya berlatih bersama dalam dua kali pertemuan di aula PGRI yang selama ini seolah jadi basecamp pegiat budaya.Kegigihan Eko Sadjarwo, guru dan pegiat budaya mempertahankan gedung itu untuk memfasilitasi kegiatan apresiasi seni dan budaya yang non komersial, non politik sektarian dan non blok, kata Ucok menyeringai khas. Seolah mengingatkan saya atas komitmen tadi.

Dari bincang kecil dengan sang pendongeng ini akhirnya muncul nada sumbang, masalah klasik  berkait dengan beberapa hal yang berawalan non di atas. Latah dan hedonistik ketika dimunculkan gagasan untuk membentuk komunitas pendongeng, keluh Ucok.  Istilah apalagi yang harus saya sebut selain "kembali ke janji kita di awal bertemu". Kalau kamu ikut arus, hanyut. Bertahan di jalur awal sambil menguatkan diri dan berpegang pada janji, perjalanan ini akan terus bergulir dengan segala pernak-perniknya. Selamat buat pak guru Hasbilah Rifa'i, pekerja seni teater dan pendongeng anak nan kreatif serta energik. Kami selalu mendukung langkahmu memperjuangkan suara hati kecilmu.

0 komentar:

Posting Komentar