Sabtu, 28 Desember 2013

Catatan Akhir Tahun Seorang Relawan PMI

Jelang perjalanan ke DPR RI 3 Desember 2013 di halaman Mabes PMI Jakarta


Kehidupan ini acapkali menghadirkan suasana luar biasa. Jauh dari dugaan, apalagi rencana. Sebagai manusia biasa, saya sering menemui hal luar biasa saat diliputi suasana sederhana. Mungkin sesederhana memakai baju untuk menutup aurat dan memenuhi kadar etika serta sedikit estetika. Kesederhanaan yang identik dengan orang kampung.  Dan kampung itu bernama Kampoeng Relawan PMI.

Pada tulisan sebelumnya tentang Kampoeng Relawan sebagai jembatan masa depan PMI mungkin agak ekspresif atau narsistik. Mana mungkin sejumlah "orang kecil" yang berstatus formal kurang jelas akan mampu menjembatani sebuah organisasi sebesar PMI? Jawabnya sederhana, biarlah proses mengalir ! Dan aliran itu memang dijaga dalam konsep sederhana. Bahwa warga Kampoeng Relawan adalah relawan PMI yang senantiasa berupaya menjaga dedikasinya untuk organisasi. Hanya "setia" pada tujuan, bukan orang atau siapapun dirinya.

Kesetiaan yang dilandasi oleh kesadaran pribadi bahwa menjadi relawan kemanusiaan di lingkungan Perhimpunan Nasional (PMI) sebagai bagian dari Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (Gerakan) itu adalah panggilan jiwa. Konspirasi hati , meminjam istilah Bang Andi Gumilar dari Jakarta Selatan. Meski tanpa penjelasan memadai, dari sikap dan cara berpikir teman-teman, saya menangkap makna yang lebih dalam dari sebuah pernyataan sikap yang kami sampaikan kepada Ketua DPR RI, Dr. Marzuki Alie 3 Desember 2013 di Ruang Pleno Gedung Nusantara II lalu untuk menuntut pengesahan #RUUKepalangmerahan yang kami nilai akan menjadi ajang politik dagang sapi dan berpotensi mengalami nasib sama (deadlock) dengan genre sebelumnya RUU Lambang inisiatif Pemerintah RI untuk menguatkan dasar hukum atas ratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang diterbitkan dengan UU No. 59 tahun 1958.

Perjalanan Kampoeng Relawan mengawal kedua RUU bagi Perhimpunan Nasional kepalangmerahan di Indonesia juga mengalir begitu saja. Ketika dr. Seno Suharyo dari Surabaya memberitahu saya tentang situasi terakhir pembahasan RUU Lambang yang deadlock itu lewat telepon maupun chatting, saya menyarankan aksi tanda tangan dukungan di seluruh wilayah Indonesia. Respon awal datang dari Kabupaten Bogor kemudian melompat ke Kalimantan dan Bali. Jawa, khususnya Jawa Tengah justru adem ayem alias tanpa respon sebagaimana telah saya prediksi. Realita ini bertolak belakang dengan sebutan provinsi yang pernah dinyatakan sebagai "barometer politik nasional dan basis kaum nasionalis" dan kampung halaman Lurah Kampoeng Relawan (menggelikan sekali!).

Gerakan Relawan PMI mengawal pengesahan #RUUKepalangmerahan bukan tanpa hambatan yang sangat berarti. Pertama, para penggagas yang karena sikap pribadinya menyatakan lebih setia pada organisasi (tujuan) dari pada kepada manusia (pengurus), sering diperlakukan sebagai "kaum marginal". Perlakuan yang biasa dilakukan oleh kaum penjajah yang senantiasa menganggap dirinya lebih berkuasa. Sebagai manusia merdeka, kami tetap bertahan dan lebih memilih jadi "gerilyawan" sebagaimana dilakukan para syuhada Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Sikap yang dalam Prinsip Dasar Gerakan disebut kemandirian (prinsip ke 3) setelah kemanusiaan dan kesamaan. Akibatnya, apapun yang kami lakukan cenderung disikapi dengan curiga (suudzon) oleh kebanyakan pengurus PMI di berbagai tingkatan yang sebagian besar berasal dari kalangan birokrat dan politisi  (dan menganggap diseminiasi kepalangmerahan bisa dipelajari sendiri ???).

Kedua, akibat lebih mengutamakan "kesetiaan" pada tujuan dibanding personalia organisasi, semua sumber daya pergerakan harus diupayakan secara mandiri. Bukan rugi, justru sebaliknya sangat menguntungkan karena tanpa beban transaksional yang biasa dilakukan "pedagang sapi" dan para oportunis. Kalaupun ada pengurus dan staf yang ikut aktif dalam gerakan relawan ini, mereka memang lebih menghargai sikap dan tujuan yang sama. Meski berisiko, mereka siap menanggung akibat yang ditimbulkan dari pengambilan keputusan bergabung dengan Gerakan (Aksi) Relawan PMI untuk pengesahan #RUUKepalangmerahan seperti dilakukan oleh Pengurus PMI Kota Jakarta Selatan yang selama ini menjadi rumah kedua warga Kampoeng Relawan. Apresiasi yang sangat tinggi untuk Bapak Dadang Dasuki (Ketua) dan Bang Moch. Adnan (Sekretaris). Kami mencatatnya dengan tinta emas. Dan karena sikapnya itu, saya mengapresiasi keduanya lebih baik dari Joko Widodo yang diprediksi akan jadi kandidat kuat Presiden RI ke 7.


Mengapa Harus PMI ?

Pertanyaan ini sering muncul dari warga masyarakat yang belum tahu PMI secara utuh. Kalaupun tahu, sebatas UDD (Unit Donor Darah) yang sering dikonotasikan sebagai "vampir". Tidak salah, tapi keliru. Lebih keliru lagi menganggap bahwa PMI adalah perwakilan agama hanya melihat sekilas lambang yang dipakai mirip dengan identitas yang biasa dipakai oleh kaum Nasrani. Inilah yang dipahami oleh kaum politisi sektarian yang ingin mengubah Indonesia jadi negara agama setelah gagal membawa isu Piagam Jakarta.
Bagi kami, bukan soal lambang yang lebih mendasar dalam mengupayakan secara maksimal #RUUKepalangmerahan harus disahkan sebelum masa persidangan DPR RI periode 2009-2014 berakhir. Alasan utamanya adalah:

  1. PMI adalah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah perjuangan kemerdekaan RI sejak 1873 bernama Nerkai dan seterusnya.
  2. RI telah menjadi anggota Gerakan sejak tahun 1958 dan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 . Dalam konstruksi hukum negara, semua perjanjian internasional yang telah ditanda-tangani (ratifikasi) harus segera dibuat UU.
  3. Banyak relawan PMI tidak mendapatkan perlindungan hukum memadai (baca: diperlakukan diskriminatif) ketika bertugas di lapangan kemanusiaan. Kasus utama yang menginspirasi RUU Lambang adalah penembakan Elang Surya Lesmana, mahasiswa dan relawan PMI dari Universitas Trisakti Jakarta ketika bertugas mengevakuasi korban "Tragedi Trisakti" 13-14 Mei 1998 yang kasusnya kemudian dipetieskan dalam label "kasus politik". Bukan kasus hukum yang berpotensi menjadi insiden internasional sebagai pelanggaran HAM berat.  Inilah kasus yang senantiasa dicatat dalam huruf tebal dan bergaris bawah oleh relawan PMI, khususnya RPI (Relawan Palang Merah Indonesia) dan warga Kampoeng Relawan.
  4. Pengalaman sangat buruk membiarkan proses politik bergerak sendiri di DPR RI dalam RUU Lambang yang sarat kepentingan politik sektarian dan transaksional. Sejumlah dana APBN dibuang sia-sia tanpa pertanggung-jawaban jelas dari orang-orang yang secara langsung atau tidak langsung telah menikmati keuntungan ekonomi dan sosial dari gerakan reformasi yang juga menelan korban Relawan PMI.
  5. PMI harus menjadi organisasi yang sesuai khitahnya sebagai Perhimpunan Nasional. Karena PMI menerima mandat dari pemerintah selaku penyelenggara negara dan Gerakan. Jadi, PMI memang merupakan institusi di dalam sebuah negara yang kedudukannya khusus. Bukan bagian dari organisasi pemerintahan, bukan pula LSM seperti badan hukum yang dimiliki oleh Bulan Sabit Merah Indonesia(BSMI). Kedudukan khusus ini dijelaskan dalam Statuta Gerakan.
  6. Dengan adanya UU Kepalangmerahan yang memenuhi syarat-syarat dalam Statuta Gerakan dan konstruksi hukum Negara RI, organisasi PMI akan diselenggarakan  secara transparan (auditable) dan profesional.

Dalam aksi 3 Desember 2013 dan audiensi dengan beberapa Fraksi di DPR RI setelah itu, termasuk dengan Ketua Pansus #RUUKepalangmerahan, Anshory Siregar dari PKS yang mendukung kuat agar BSMI menggantikan kedudukan PMI sampai opsi minimum  memasukkannya sebagai bagian dari PMI dalam sebuah pola kerjasama, kami menangkap kesan bahwa janji Ketua DPR RI di depan Relawan PMI yang melakukan aksi simpatik (meski kurang menarik perhatian media massa televisi) untuk me-rolling  Ketua Pansus #RUUKepalangmerahan jika masih bersikukuh dengan sikapnya yang mengulur-ulur waktu, akan kami tagih pada kesempatan pertama. Jika lalai, tidak menutup kemungkinan bahwa  Gedung DPR/MPR RI akan menjadi ajang simulasi bencana berskala besar seperti ketika Relawan PMI se Indonesia melakukan Operasi Tanggap Darurat di Aceh (2004-2005) maupun lokasi bencana lainnya.


Ini bukan ancaman. Tapi merupakan ekspresi pendapat Relawan PMI  sebagai warga negara Indonesia. Kami bergerak bukan sebagai RPI, Kampoeng Relawan atau komunitas lainnya. Dengan jumlah lebih dari 2 juta orang yang sebagian besarnya adalah "militan", Relawan PMI se Indonesia dari berbagai elemen PMR, KSR, TSR dan DDS siap mengawal perjalanan akhir #RUUKepalangmerahan mengalir tanpa pembiaran apapun.

Tulisan ini dimuat juga di Biarlah Mengalir - Kompasiana

0 komentar:

Posting Komentar