Jelang perjalanan ke DPR RI 3 Desember 2013 di halaman Mabes PMI Jakarta |
Kehidupan ini acapkali menghadirkan
suasana luar biasa. Jauh dari dugaan, apalagi rencana. Sebagai manusia biasa,
saya sering menemui hal luar biasa saat diliputi suasana sederhana. Mungkin
sesederhana memakai baju untuk menutup aurat dan memenuhi kadar etika serta
sedikit estetika. Kesederhanaan yang identik dengan orang kampung. Dan
kampung itu bernama Kampoeng Relawan PMI.
Pada tulisan sebelumnya tentang
Kampoeng Relawan sebagai jembatan masa depan PMI mungkin agak ekspresif atau
narsistik. Mana mungkin sejumlah "orang kecil" yang berstatus formal
kurang jelas akan mampu menjembatani sebuah organisasi sebesar PMI? Jawabnya sederhana,
biarlah proses mengalir ! Dan aliran itu memang dijaga dalam konsep sederhana.
Bahwa warga Kampoeng Relawan adalah relawan PMI yang senantiasa berupaya
menjaga dedikasinya untuk organisasi. Hanya "setia" pada tujuan,
bukan orang atau siapapun dirinya.
Kesetiaan yang dilandasi oleh kesadaran pribadi bahwa menjadi relawan kemanusiaan di lingkungan Perhimpunan Nasional (PMI) sebagai bagian dari Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (Gerakan) itu adalah panggilan jiwa. Konspirasi hati , meminjam istilah Bang Andi Gumilar dari Jakarta Selatan. Meski tanpa penjelasan memadai, dari sikap dan cara berpikir teman-teman, saya menangkap makna yang lebih dalam dari sebuah pernyataan sikap yang kami sampaikan kepada Ketua DPR RI, Dr. Marzuki Alie 3 Desember 2013 di Ruang Pleno Gedung Nusantara II lalu untuk menuntut pengesahan #RUUKepalangmerahan yang kami nilai akan menjadi ajang politik dagang sapi dan berpotensi mengalami nasib sama (deadlock) dengan genre sebelumnya RUU Lambang inisiatif Pemerintah RI untuk menguatkan dasar hukum atas ratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang diterbitkan dengan UU No. 59 tahun 1958.
Perjalanan Kampoeng Relawan mengawal
kedua RUU bagi Perhimpunan Nasional kepalangmerahan di Indonesia juga mengalir
begitu saja. Ketika dr. Seno Suharyo dari Surabaya memberitahu saya tentang
situasi terakhir pembahasan RUU Lambang yang deadlock itu lewat telepon
maupun chatting, saya menyarankan aksi tanda tangan dukungan di
seluruh wilayah Indonesia. Respon awal datang dari Kabupaten Bogor kemudian
melompat ke Kalimantan dan Bali. Jawa, khususnya Jawa Tengah justru adem
ayem alias tanpa respon sebagaimana telah saya prediksi. Realita ini
bertolak belakang dengan sebutan provinsi yang pernah dinyatakan sebagai "barometer
politik nasional dan basis kaum nasionalis" dan kampung halaman Lurah
Kampoeng Relawan (menggelikan sekali!).
Gerakan Relawan PMI mengawal
pengesahan #RUUKepalangmerahan bukan tanpa hambatan yang sangat berarti.
Pertama, para penggagas yang karena sikap pribadinya menyatakan lebih setia
pada organisasi (tujuan) dari pada kepada manusia (pengurus), sering
diperlakukan sebagai "kaum marginal". Perlakuan yang biasa dilakukan
oleh kaum penjajah yang senantiasa menganggap dirinya lebih berkuasa.
Sebagai manusia merdeka, kami tetap bertahan dan lebih memilih jadi "gerilyawan"
sebagaimana dilakukan para syuhada Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Sikap yang
dalam Prinsip Dasar Gerakan disebut kemandirian (prinsip ke 3) setelah kemanusiaan
dan kesamaan. Akibatnya, apapun yang kami lakukan cenderung
disikapi dengan curiga (suudzon) oleh kebanyakan pengurus PMI di
berbagai tingkatan yang sebagian besar berasal dari kalangan birokrat dan
politisi (dan menganggap diseminiasi kepalangmerahan bisa dipelajari
sendiri ???).
Kedua, akibat lebih mengutamakan
"kesetiaan" pada tujuan dibanding personalia organisasi, semua sumber
daya pergerakan harus diupayakan secara mandiri. Bukan rugi, justru sebaliknya
sangat menguntungkan karena tanpa beban transaksional yang biasa dilakukan
"pedagang sapi" dan para oportunis. Kalaupun ada pengurus dan staf
yang ikut aktif dalam gerakan relawan ini, mereka memang lebih menghargai sikap
dan tujuan yang sama. Meski berisiko, mereka siap menanggung akibat yang
ditimbulkan dari pengambilan keputusan bergabung dengan Gerakan (Aksi) Relawan
PMI untuk pengesahan #RUUKepalangmerahan seperti dilakukan oleh Pengurus PMI
Kota Jakarta Selatan yang selama ini menjadi rumah kedua warga Kampoeng
Relawan. Apresiasi yang sangat tinggi untuk Bapak Dadang Dasuki (Ketua) dan
Bang Moch. Adnan (Sekretaris). Kami mencatatnya dengan tinta emas.
Dan karena sikapnya itu, saya mengapresiasi keduanya lebih baik dari Joko
Widodo yang diprediksi akan jadi kandidat kuat Presiden RI ke 7.
Mengapa Harus PMI ?
Pertanyaan ini sering muncul dari
warga masyarakat yang belum tahu PMI secara utuh. Kalaupun tahu, sebatas UDD
(Unit Donor Darah) yang sering dikonotasikan sebagai "vampir". Tidak
salah, tapi keliru. Lebih keliru lagi menganggap bahwa PMI adalah perwakilan
agama hanya melihat sekilas lambang yang dipakai mirip dengan identitas yang
biasa dipakai oleh kaum Nasrani. Inilah yang dipahami oleh kaum politisi
sektarian yang ingin mengubah Indonesia jadi negara agama setelah gagal membawa
isu Piagam Jakarta.
Bagi kami, bukan soal lambang yang
lebih mendasar dalam mengupayakan secara maksimal #RUUKepalangmerahan harus
disahkan sebelum masa persidangan DPR RI periode 2009-2014 berakhir. Alasan
utamanya adalah:
- PMI
adalah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah perjuangan kemerdekaan RI
sejak 1873 bernama Nerkai dan seterusnya.
- RI
telah menjadi anggota Gerakan sejak tahun 1958 dan meratifikasi Konvensi
Jenewa 1949 . Dalam konstruksi hukum negara, semua perjanjian
internasional yang telah ditanda-tangani (ratifikasi) harus segera dibuat
UU.
- Banyak
relawan PMI tidak mendapatkan perlindungan hukum memadai (baca:
diperlakukan diskriminatif) ketika bertugas di lapangan kemanusiaan. Kasus
utama yang menginspirasi RUU Lambang adalah penembakan Elang Surya
Lesmana, mahasiswa dan relawan PMI dari Universitas Trisakti Jakarta
ketika bertugas mengevakuasi korban "Tragedi Trisakti" 13-14 Mei
1998 yang kasusnya kemudian dipetieskan dalam label "kasus
politik". Bukan kasus hukum yang berpotensi menjadi insiden
internasional sebagai pelanggaran HAM berat. Inilah kasus yang
senantiasa dicatat dalam huruf tebal dan bergaris bawah oleh relawan PMI,
khususnya RPI (Relawan Palang Merah Indonesia) dan warga Kampoeng Relawan.
- Pengalaman sangat buruk membiarkan proses politik
bergerak sendiri di DPR RI dalam RUU Lambang yang sarat kepentingan politik
sektarian dan transaksional. Sejumlah dana APBN dibuang sia-sia tanpa
pertanggung-jawaban jelas dari orang-orang yang secara langsung atau tidak
langsung telah menikmati keuntungan ekonomi dan sosial dari gerakan reformasi
yang juga menelan korban Relawan PMI.
- PMI
harus menjadi organisasi yang sesuai khitahnya sebagai Perhimpunan
Nasional. Karena PMI menerima mandat dari pemerintah selaku penyelenggara
negara dan Gerakan. Jadi, PMI memang merupakan institusi di dalam sebuah
negara yang kedudukannya khusus. Bukan bagian dari organisasi
pemerintahan, bukan pula LSM seperti badan hukum yang dimiliki oleh Bulan
Sabit Merah Indonesia(BSMI). Kedudukan khusus ini dijelaskan dalam Statuta
Gerakan.
- Dengan
adanya UU Kepalangmerahan yang memenuhi syarat-syarat dalam Statuta
Gerakan dan konstruksi hukum Negara RI, organisasi PMI akan
diselenggarakan secara transparan (auditable) dan profesional.
Dalam aksi 3 Desember 2013 dan
audiensi dengan beberapa Fraksi di DPR RI setelah itu, termasuk dengan Ketua
Pansus #RUUKepalangmerahan, Anshory Siregar dari PKS yang mendukung kuat agar
BSMI menggantikan kedudukan PMI sampai opsi minimum memasukkannya
sebagai bagian dari PMI dalam sebuah pola kerjasama, kami menangkap kesan bahwa
janji Ketua DPR RI di depan Relawan PMI yang melakukan aksi simpatik (meski
kurang menarik perhatian media massa televisi) untuk me-rolling Ketua
Pansus #RUUKepalangmerahan jika masih bersikukuh dengan sikapnya yang
mengulur-ulur waktu, akan kami tagih pada kesempatan pertama. Jika lalai, tidak
menutup kemungkinan bahwa Gedung DPR/MPR RI akan menjadi ajang simulasi
bencana berskala besar seperti ketika Relawan PMI se Indonesia melakukan
Operasi Tanggap Darurat di Aceh (2004-2005) maupun lokasi bencana lainnya.
Ini bukan ancaman. Tapi merupakan
ekspresi pendapat Relawan PMI sebagai warga negara Indonesia. Kami
bergerak bukan sebagai RPI, Kampoeng Relawan atau komunitas lainnya. Dengan
jumlah lebih dari 2 juta orang yang sebagian besarnya adalah "militan",
Relawan PMI se Indonesia dari berbagai elemen PMR, KSR, TSR dan DDS siap
mengawal perjalanan akhir #RUUKepalangmerahan mengalir tanpa pembiaran
apapun.
Tulisan ini dimuat juga di Biarlah Mengalir - Kompasiana
0 komentar:
Posting Komentar