Foto: copas banner +asatunews . |
Ada dua banner yang di sini membuat ngeri hati ini. Bung
Hatta, tokoh nasional yang bersahaja, non partisan, teguh pendirian dan
sejumlah kehebatan lainnya seolah ingin menyampaikan pesan "kita sekarang
dijajah bangsa sendiri". Apalagi ditulis dalam warna merah yang biasanya
merupakan simbol larangan atau keberanian luar biasa. Benarkah demikian ?
Sementara itu, tokoh fenomenal yang sering disebut singa podium, Soekarno atau
Bung Karno berpesan bahwa " koruptor adalah penghianat bangsa".
Secara umum, banner besar itu
menggambarkan pandangan utama atau visi ketimbang sebuah papan pengumuman untuk
menarik perhatian publik pembaca. Karena, pernyataan serupa pernah saya
sampaikan saat berdiskusi dengan beberapa anggota Dewan Harian Cabang Angkatan
(DHC) '45 Kabupaten Kebumen pasca upacara Hari Kemerdekaan RI ke 60 di GOR
Juang yang selama ini menjadi tempat berkumpulnya sejumlah organisasi sosial
anggota DHC '45. Yakni Legiun Veteran RI (LVRI), Paguyuban Keluarga Besar
Pelajar Pejuang Kemerdekaan / ex Tentara Pelajar , Pepabri (Persatuan Purnawira
ABRI/TNI), Persatuan Wredatama
(Penisunan PNS) RI dan Wirawati Catur Panca (organisasi perempuan pejuang
kemerdekaanRI). Saat itu, saya mewakili ex Tentara Pelajar.
Pernyataan yang membuat para hadirin
kaget dan sebagian diantaranya berwajah marah yang tertahan, saya sampaikan dengan nada datar. Seseorang
tokoh yang mengenal cukup dekat kedua orang tua kami menyebut nama almarhum
ayah. Di raut wajah orang yang menahan marah tadi nampak ada sedikit rona yang
mengendur. Alis matanya sempat naik, menandakan kekagetan. Tapi wajahnya masih
tampak tegang. Mungkin agak meradang.
Sebenarnya, pernyataan saya tadi telah
berkali-kali ke luar di berbagai kesempatan mendampingi orang-orang muda yang
tengah berkeluh kesah tentang kesulitan hidup yang dialami di hadapannya.
Ketika mendampingi para perajin konveksi celana pendek di sebuah desa pinggiran
kecamatan kota. Para perajin anyaman, relawan PMI dan sejumlah pegiat seni
teater yang telah "merasa dihargai" di Jogja. Dan masih ada beberapa
kelompok masyarakat yang lain. Baik dengan logika sederhana maupun sedikit
filosofis. Bahwa kenyataan yang terjadi saat ini adalah mirip dengan suasana
kehidupan di masa penjajahan bangsa asing sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945 dikumandangkan oleh Soekarno - Hatta atas nama Bangsa Indonesia.
Tanda-tanda yang cukup menyolok ada di
lingkungan pemerintahan. Dari jaman Soeharto yang otoritarian-militeristik
sampai sekarang praktik-praktik penjajahan adalah perilaku bermuka dua. Ke atas
menjilat, ke bawah menyikut. Kepada para petinggi menyembah-nyembah, kepada
bawahan menginjak-injak. Perilaku pamer kekuasaan menjadi gaya hidup yang sulit
dibendung.
Ciri lain dari manusia terjajah adalah
suka mengasihani diri. Ini terjadi tidak hanya di kalangan tertentu, tapi telah
meluas ke berbagai sisi kehidupan. Dan dilakukan tanpa sungkan. Bahkan secara
terbuka dan tanpa pandang bulu. Tak perlu dengan susah payah untuk menemukan
perilaku semacam ini. Simak saja berita di media massa televisi saat yang
bersangkutan tertangkap tangan telah atau tengah melakukan perbuatan asusila,
asosial dan a - a lain.
Negeri kita diperjuangkan kemerdekaannya
adalah agar warganya menjadi manusia yang beradab dan kemudian memelihara sikap
adil. Tanpa mendasari perilaku yang berkeadaban mustahil akan ada keadilan dan
kesejahteraan. Indonesia kaya tradisi dan budaya serta sumber-sumber daya
kehidupan. Tapi miskin peradaban karena para pemimpin lebih sering mengasihani
diri. Biasanya diiringi dengan memelihara kebodohan karena tak mampu belajar
dengan benar dan baik dari pengalaman pendulunya.
Memang, jargon "jas merah - jangan
(sampai) melupakan sejarah " sangat terkenal. Namun ada kecenderungan
memakai "jas hujan - jangan sampai
melupakan hujatan dan cibiran" ketika ada yang mengingatkan tentang
pengalaman masa lalu alias sejarah. Ngerinya hati ini.
* Catatan ini ada juga di kompasiana.
0 komentar:
Posting Komentar