Tulisan ini
terinspirasi oleh tulisan serupa dari blog Bumen
Priben. Sang Penulis bukan orang sembarangan. Ia pernah jadi wartawan
Wawasan, koran sore yang sepertinya ikut tergerus waktu dengan semakin
banyaknya pilihan media online. Pernah jadi Ketua KPU Kabupaten Kebumen di masa
Rustriningsih jadi bupatinya. Dan sekarang sebagai petinggi di stasiun televisi
lokal, Ratih TV yang kian merana dan merintih karena Pemerintah dan DPRD Kab.
Kebumen enggan memelihara kehidupan media pandang dengar ini yang begitu
menggelegar di awal operasional. Dia, Kholid Anwar, sosok unik di kancah
permedia-massaan yang rambutnya kian memerak entah karena banyak berpikir atau
memang sudah jatahnya begitu.
Dari banyak
tulisan yang sebagian besar bernada sarkastik, satu judul yang menarik adalah:
Antara Wakil Rakyat dan Rayap-Mana Lebih Jahat? intinya bercerita pesimisme dirinya tentang proses politik dalam pemilu 9 April 2014 mendatang.
Menurut pandangannya, mengharap wakil rakyat yang terpilih di
pemilu nanti sebagai representasi suara rakyat suara Tuhan, sama saja dengan
orang berdoa sambil menenggak miras. Ya..memang ada sebagian orang
memercayai teori Weber yang sangat terkenal ini. Vox populi vox dei. Bila seorang mantan Ketua KPU kabupaten saja menyimpulkan demikian, bagaimana dengan masyarakat awam ?
Dalam dunia politik, konon berlaku hukum rimba. Siapa kuat dia pemenangnya. Tak ada kawan sejati, yang ada kepentingan bersama. Meminjam istilah ekonomi, selalu ada transaksi, dari yang sederhana dan kolot semacam barter sampai yang sangat modern secara on line tanpa harus bertatap muka.
Dalam dunia politik, konon berlaku hukum rimba. Siapa kuat dia pemenangnya. Tak ada kawan sejati, yang ada kepentingan bersama. Meminjam istilah ekonomi, selalu ada transaksi, dari yang sederhana dan kolot semacam barter sampai yang sangat modern secara on line tanpa harus bertatap muka.
Berdoa dan
berusaha adalah upaya maksimal manusiawi. Berdoa kepada Sang Maha Pencipta,
Allah SWT adalah sebuah refleksi ketidakberdayaan manusia di hadapan Khalik.
Dengan berdoa, manusia berharap mendapat kemudahan jalan dalam usaha yang
sedang atau akan dijalaninya. Ada adab, sopan santun atau tata cara berdoa.
Yang terbaik adalah dilakukan dengan tulus ihlas, dari hati terdalam dan di
segenap suasana sadar dan kepasrahan. Jika dalam berdoa sambil menenggak miras , minuman keras yang mengurangi
atau bahkan menghilangkan kesadaran, bukan hanya menghalangi terkabulnya doa
itu. Tapi juga mengisyaratkan ketidak-mampuan dirinya mengendalikan hawa nafsu,
emosi, menunjukkan kepicikan dan seterusnya.
Foto: googling. |
Menyerahkan
urusan orang banyak (maslahat) kepada orang-orang seperti itu tidak hanya
konyol. Juga membiarkan kerusakan berlangsung tanpa kendali atau sanksi apapun.
Tidak keliru perumpaan yang dipakai adalah rayap. Binatang pengerat ini sangat
dikenal memiliki kemampuan yang sulit dicegah jika telah masuk dan memakan
batang kayu sekuat jati sekalipun. Pelan tapi pasti kehancuran terjadi, cepat
atau lambat. Dan perilaku politisi yang menghuni lembaga-lembaga publik telah
banyak membuktikannya. Tak kurang di lembaga ”super” Mahkamah Konstitusi yang
menyeret Penangkapan Akil Mochtar- KPK - Cegah Ratu Atut masuk bui Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa waktu lalu.
Akil Muhtar di KPK-foto: viva.co.id
Kasus Akil
Muhtar hanya sebuah puncak kecil fenomena gunung es korupsi di lembaga-lembaga
formal kenegaraan. Dengan posisinya sebagai orang pertama di sebuah superbody yang dapat membuat sebuah
produk Undang-Undang tak laku atau dikoreksi pada bagian khusus, tentunya
menguatkan gambaran awam bahwa tak ada lagi lembaga negara baik eksekutif,
yudikatif dan khususnya legislatif yang tak ada ”rayapnya”.
Selain rayap yang
banyak berkeliaran di dalam tubuh lembaga-lembaga kenegaraan itu, pemilu
legislatif kali ini nampaknya juga akan banyak dihuni oleh ”kucing garong” yang
tak segan melukai tuan atau orang di sekitarnya. Pepatah seperti beli kucing
dalam karung adalah munculnya wajah-wajah asing lingkungan yang menyalonkan
dirinya sebagai balon pileg, bakal
calon pemilihan umum anggota badan legislatif. Seseorang yang tak pernah
menyapa tetangga dekatnya, entah karena faktor apa atau bagaimana, tiba-tiba
memajang diri dengan senyum manis berbalut baju parpol pengusungnya. Gambaran
seperti ini masih lebih baik ketimbang balon pileg yang sama sekali asing alias
tidak pernah dikenal lingkungan sekitar, apalagi publik.
Fenomena kucing
dan rayap dalam pileg sebenarnya telah terjadi sejak dasawarsa terakhir.
Munculnya artis dan public figur dari
dunia hiburan maupun olahraga sebenarnya bukan hal luar biasa jika mereka telah
menyiapkan diri di ”dunia keras” yang penuh intrik dan benturan kepentingan
ini. Uang dan popularitas seolah menjadi alasan utama mereka terjun ke dunia
politik praktis. Jadi, soal kapasitas pribadi sebagai pembawa aspirasi warga
masyarakat sangat perlu dipertanyakan. Angelina Sondakh adalah satu contoh
kecil ketidakberdayaan mantan Putri Indonesia yang pernah menjadi duta budaya
dan pariwisata bangsa di kancah pergaulan internasional akhirnya kandas dalam
kasus Hambalang. Jika seorang Angelina saja dapat terjerumus atau menjerumuskan
diri dalam kubangan lumpur korupsi, kolusi dan nepotisme yang menjadi jargon
Gerakan Reformasi dengan sejumlah kasus
tragis dan tak tertangani (X Files), bagaimana tidak dengan orang-orang yang
latar belakangnya diragukan ? Itulah sebagian sisi carut marut negeri ini yang
digerogoti ”para rayap”.
0 komentar:
Posting Komentar