Prolog
Dua hari lagi, tepatnya Minggu 10 November 2013, kita akan
memperingati satu peristiwa besar bersejarah yang menandai tekad dan upaya
Bangsa Indonesia mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Suatu
peristiwa yang menjadi tonggak bagi warga bangsa lainnya untuk melakukan hal
sama atau serupa. Arek-arek Soerobojo (baca Surabaya) berbekal semangat dan
tekad terus merdeka menghadang gerak maju pasukan
pendudukan Belanda yang membonceng sekutu ingin kembali berkuasa atas tanah air
dan tumpah darah Indonesia. Bersenjatakan bambu runcing dan berbagai senjata
tradisional serta sebagian kecil senjata api sitaan dari pasukan Jepang, mereka
bahu membahu, saling mendukung kekuatan. Meski harus berakhir dengan banyak
korban meninggal, luka berat atau ringan dan kehilangan banyak harta benda,
sanak saudara maupun teman-teman seperjuangan. Tetapi tak ingin kehilangan
harga diri, martabat kemanusiaannya sebagai bangsa yang merdeka.
Kepahlawanan
Dalam KBBI daring (Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan)
dijelaskan bahwa kepahlawanan adalah perihal sifat pahlawan yang menonjol
karena keberanian (diri) menegakkan kebenaran dengan cara suka rela. Serupa
dengan pengertian relawan, kepahlawanan lebih luas dan menekankan karakter atau
kepribadian sekelompok orang atas nilai kebenaran tertentu. Kelompok itu
biasanya merupakan masyarakat, bangsa dan/atau negara. Dengan kata lain,
kepahlawanan bisa muncul dari sekelompok kecil orang yang acapkali disebut
sebagai komunitas atau mungkin juga untuk skala yang sangat luas seukuran
dunia. Karena menyangkut karakter atau kepribadian, maka kepahlawanan cenderung
subyektif. Tidak ada kekhususan bidang seperti halnya relawan kemanusiaan
misalnya.
Seorang pahlawan dalam suatu komunitas sangat mungkin dinilai
sebagai pecundang bagi yang lain karena faktor subyektivitas tadi. Misalnya,
Robinhood adalah pahlawan bagi orang-orang yang menghuni hutan di Nottingham,
Inggris tetapi musuh besar bagi Prince John yang berkuasa dan koruptif di sana.
Begitu juga dengan Kusni Kasdut bagi sebagian orang miskin di Jawa Timur,
tetapi ia jadi pecundang dan penjahat besar di mata Pemerintah RI karena
merampok emas di Museum Nasional. Tak jauh beda dengan peran Che Guevara bagi
sebagian masyarakat Amerika Latin.
Banyak contoh kontroversial semacam tokoh-tokoh yang diceritakan
di atas. Nuansa subyektivitas memang sangat kental mewarnai makna kepahlawanan.
Meski begitu, kepahlawanan adalah sebuah kebutuhan jiwa manusia akan arti dan
makna kebenaran. Pertanyaannya, apakah kemerdekaan Bangsa Indonesia memang
harus dimaknai mengingat konteks waktu dan ruang dipertahankan apa adanya ?
Ataukah, kita selaku warga bangsa perlu secara terus menerus memperbarui sikap
dan wawasan kebangsaan Indonesia agar senantiasa mampu mengapresiasi
nilai-nilai kepahlawanan yakni keberanian menegakkan kebenaran ?
Pada dasarnya, mengikuti naluri kemanusiaannya, setiap orang
menginginkan hadirnya pahlawan dalam hidup dan kehidupannya. Cara menghadirkan
dapat berbeda antara satu dan lain orang. Ada yang harus bersusah payah, tapi
ada juga yang sangat mudah. Jika kepahlawanan dinilai sebagai roh atau jiwa,
mungkin saja tak banyak orang mampu menghadirkan dengan mudah. Pemahaman yang
baik tentang kebenaran hakiki adalah satu kendala besar bagi orang-orang yang
terbiasa bersikap hedonistik dalam menghadirkan kepahlawanan secara utuh.
Karena mereka hanya tahu sisi artifisial atau permukaan/ kulit saja.
(bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar