Rabu, 05 Maret 2014

Memperbaiki Citra Pendidikan di Indonesia - Bagian 4


Ada kesamaan pandangan antara pengamat ekonomi Faisal Basri dan Direktur Pembinaan SMA, Harris Iskandar tentang pentingnya mengubah paradigma pendidikan di Indonesia ke depan. Yakni pendekatan input yang bertumpu pada faktor sekolah yang berlaku selama ini menjadi pendekatan output yang mengembangkan kadar (tingkat) kemampuan baca, tulis, hitung dan pemecahan masalah. Hal yang sama juga dipaparkan oleh Harris dengan dukungan data yang cukup rinci di sini.  Dengan gaya khas pejabat yang gemar membuat singkatan, Direktur Pembinaan SMA ini mengungkapkan keadaan yang perlu dipakai sebagai bekal mencari kerja yaitu calistungtik (baca - tulis - hitung dan TIK). 

Banyak pihak telah mengingatkan kita semua bahwa satu peristiwa besar yang sudah di ambang pintu adalah pemberlakuan tatanan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015. Dari semua indikator yang dipaparkan sebagai faktor berpengaruh (impact factors), kita kalah jauh dibanding dua negeri jiran yang banyak dihuni oleh para diaspora Indonesia yakni Singapura dan Malaysia. Dari data yang dipaparkan BPS di sini , evaluasi UNDP tentang Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia dan  hasil survey ketenaga-kerjaan OECD  mengisyaratkan bahwa  kondisi dunia pendidikan di Indonesia secara umum memerlukan perhatian khusus. Rekomendasi Harris Iskandar  di sumber sama dengan yang ada di atas, bahwa " kunci sukses untuk mempersiapkan warga negara di abad 21 ini adalah dengan memperbaiki mutu pendidikan menengah " (The Economist, 2013) bukan dengan model by pass .                                                   

AFTA dan MEA sudah di depan mata, bahkan sangat mungkin telah memasuki kehidupan nyata masyarakat Indonesia. Semestinya tak perlu lagi ada keributan semacam ini. Kurikulum 2013 hampir mustahil dihapuskan, tetapi masih ada sedikit waktu untuk memperbaiki banyak kekurangan yang ada di dalamnya. Jangan hanya karena ingin mengejar obsesi Generasi Emas yang menjadi dasar pemikiran munculnya kurikulum ini. Kelemehanan institusional di lingkungan internal kementerian pendidikan (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota) yang tidak memberi ruang bagi improvisasi dan pengembangan kapasitas non administratif para guru juga harus dijalankan secara simultan.

Memperbaiki citra pendidikan tak cukup dengan penyesuaian atau penggantian kurikulum dan "mendewakan sistem penilaian berbasis TIK". Karena subyek dan obyek pendidikan adalah manusia masa depan. Bukan manusia sekarang yang sarat dengan muatan kepentingan sektarian. Berdasarkan data statistik maupun kenyataan yang terjadi di lapangan, dunia pendidikan di Indonesia tertinggal di hampir semua aspek. Untuk mengantisipasi MEA yang akan berlaku mulai tahun depan saja kita akan mengalami banyak kesulitan teknis, khususnya strategis.

Dari semua hal yang terpetakan, kunci utama adalah pada pemimpin nasional maupun lokal. Pemilu legislatif 9 April 2014 mendatang diprediksi tak akan mengubah secara mendasar peta politik nasional yang masih sarat dengan praktik politik sektarian  karena sekitar 90% calon adalah anggota DPR periode 2009 - 2014. Kondisi yang tak lebih baik juga akan terjadi di pilpres 2014. 

Meski gambaran umum masih sangat buram, ada satu hal kadang kala dilupakan dan tak masuk akal. Ketika situasi terjepit dan sangat dilematis, sepanjang sejarah kebangsaan Indonesia, selalu muncul orang atau sekelompok orang yang mampu menyelamatkan bangsa dari kehancuran peradaban. Dan itu diharapkan dari kalangan pendidikan. Semoga.        
  

0 komentar:

Posting Komentar