Selasa, 03 November 2015
Olahraga Bridge dan Revolusi Mental
14.03
1 comment
Olahraga Bridge
merupakan salah satu cabang olehraga yang dapat dimainkan sejak usia dini
sampai lansia. Rata-rata orang yang
pernah belajar Bridge dikehatui sangat jarang berhenti bermain Bridge, baik
sekadar hobby maupun aktif mengikuti kompetisi Bridge tingkat local, daerah,
nasional dan internasional.
Terdapat beberapa
peristiwa fenomenal dari para maniak Bridge yang sulit diketagorikan sebagai
kategori peristiwa kebetulan, misalnya alm. Deng Hsiao Phing yang berhasil
mereformasi perekonomian Tiongkok menjadi raksasa dunia adalah pemain dan
maniak Bridge, bahkan beliau masih bermain Bridge seminggu sebelum beliau tutup
mata.
Contoh lain
maniak Bridge adalah Bill Gates yang berani mengambil keputusan sangat berisiko
dengan meninggalkan bangku kuliah di Universitas Harvard demi menjadi pengusaha
muda. Keputusan itu terbukti jitu karena dalam waktu relative singkat ia
berhasil mengembangkan bisnisnya hingga menjadi orang terkaya di dunia saat
ini.
Lalu bagaimana
di Indonesia? Bapak Michael Bambang Hartono orang terkaya di Indonesia adalah
atlet Bridge yang sukses meraih medali perunggu di Kejuaraan Dunia Super Bowl.
Setelah bermain Bridge sejak usia 6 tahun dan saat ini di usia 75 tahun, beliau
masih aktif bertanding di kejuaraan dunia.
Ketiga contoh
tersebut membuktikan bahwa seorang pemimpin hebat akan langsung senang dan
bahkan menjadi maniak bila diperkenalkan dengan olahraga Bridge atau bisa
sebaliknya di mana olahraga Bridge dapat mencetak pemimpin dengan mental dan
karakter unggul.
Revolusi
Mental
Salah satu
cabang olahraga yang nyaris sempurna dalam membentuk karakter unggul bercirikan
karakter seorang pemimpin adalah olahraga Bridge. Melalui olahraga asah otak
ini , seseorang akan dibentuk karakter kepribadiannya antara lain :
1.
Peningkatan
kecerdasan intelektual dan mempertajam daya ingat.
2.
Peningkatan
kecerdasan emosional di mana setiap pemain Bridge memiliki kepekaan naluri dan
empati maupun kemitraan terhadap teman.
3.
Kemampuan
bekerjasama serta setia dan loyalitas tinggi kepada partner/ mitra karena
olahraga Bridge merupakan permainan berpasangan, bukan individu.
4.
Meningkatkan
kecerdasan spiritual dan selalu menjunjung tinggi sportivitas, etika, sopan
santun, jujur serta tidak mudah putus asa.
5.
Mampu
mengambil keputusan cepat, tepat, akurat dan benar didasari atas analisis kuat
dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan (teori probabilitias, matamatis,
sistematis dan lain-lain).
6.
Peningkatan
kecerdasan-kecerdasan lainnya.
Dengan
demikian, olahraga Bridge sangat cocok diajarkan di sekolah mulai SD, SMP, SMA
dan Perguruan Tinggi, karena olahraga Bridge bukan sekadar olahraga biasa
tetapi dapat membentuk karakter/ mental unggul secara revolusional (revolusi
mental).
PB
Gabsi sejak 2002 telah menggulirkan Program Bridge Masuk Sekolah (BMS) dan
program tersebut diakui oleh World Bridge Federation (WBF) sebagai yang terbaik
di dunia. Pemerintah saat ini mencanangkan revolusi mental yang dapat
direalisasikan melalui program BMS di seluruh Indonesia. Semoga cabang olahraga
Bridge bukan hanya mampu mencetak juara dunia seperti Hengky Lasut/ Eddy
Manoppo, tetapi juga mampu melahirkan banyak pemimpin di Tanah Air dengan
kaliber dunia.
Sumber : Majalah Bridge Indonesia Edisi
Maret 2015 hal. 12
Selasa, 19 Agustus 2014
Celoteh Sopir Minibus Gombong - Kebumen
Kepadatan lalu lintas hampir terjadi di semua jalur dan ruas jalan utama akhir-akhir ini. Baik sekelas jalan negara, provinsi maupun kabupaten/kota. Beragam jenis kendaraan kecil (sepeda motor), sedang (sedan, kendaraan keluarga dan sejenisnya) serta besar (truk dan tronton) mudah ditemukan terutama pada jam-jam sibuk. Bahkan di gang dan lorong. Pemandangan yang di satu sisi menunjukkan gambaran tentang peningkatan volume atau kapasitas perekonomian umum. Karena kendaraan termasuk jenis kebutuhan sekunder atau lebih dari itu.
Meningkatnya volume kendaraan yang memadati jalan-jalan raya akhir-akhir ini sayangnya tergolong kendaraan pribadi. Tentu sepeda motor yang paling dominan. Dalam lima tahun terakhir, hampir semua rumah tangga punya satu atau lebih. Kebanyakan dari jenis bebek baik yang biasa atau manual maupun otomatik. Tapi bukan soal "pemandangan" yang jadi inti tulisan ini.
Supir kendaraan umum yang saya naiki saat itu tiba-tiba berceloteh. "Kebumen (kabupaten) itu kota atau wilayah mati. Tiga bupati tak mampu menyelesaikan sebuah rumah sakit. Karena 70% pendapatannya dari utang. Sulit bagi kami, "wong cilik" berkembang dan memperbaiki nasib kalau harus bertahan di rumah sendiri. Saya pernah jadi buruh migran di Malaysia selama beberapa tahun agar bisa menyekolahkan anak sampai SMA. Kini dua dari 4 anak ada di Jepang", sang sopir mengakhiri kalimatnya.
Sambil berjalan kaki menuju titik temu, saya coba menyarikan isi celotehan sang supir angkot tadi. Ada kegetiran di balik kebanggaan terhadap anaknya yang peluang hidup lebih baik meski harus berada di negeri orang. Ada dasar cukup kuat untuk menyatakan argumentasi di balik angka yang disodorkan. Ada pesimisme dari fakta yang berkembang. Ada apa lagi di balik semua yang diungkapkannya ....?
Entah kali yang ke berapa, ungkapan senada saya dengar dari kalangan beragam. Kabupaten Kebumen memang memiliki banyak potensi dan "orang hebat" lahir di sini. Di lingkungan yang oleh almarhumah ibunda kami disebut lemah cengkah atau tanah liat. Satu ungkapan untuk merepresentasikan keadaan yang sangat sulit diolah jadi lahan subur selain untuk bahan membuat batu bata dan genteng yang beberapa tahun terakhir oleh penduduk sekitar lokasi produksinya disebut " penjual tanah air". Benarkah sebutan atau pomeo itu ?
Dari perbincangan serius tapi santai dengan berbagai kalangan yang punya kepedulian kuat memajukan wilayah ini dan bertahan dengan sikap mandirinya, ada satu kesamaan nada: minor ! Arahnya cukup jelas, budaya feodalistik yang tercermin dari perilaku para pemangku jabatan di lingkungan pemerintahan (dan politik tentunya). Indikasinya nampak pada tingginya minat jadi pegawai negeri sipil di satu sisi dan rendahnya minat jadi wirausaha karena tingkat kesulitan berkembang cukup tinggi. Wujudnya adalah komposisi APBD dengan perbandingan yang sangat timpang antara belanja pegawai dan rutin yang berkisar 70% dibanding belanja pembangunan 30%. Sementara itu, pendapatan asli daerah (PAD) belum mampu melampaui tingkat kemiskinan daerah yang rata-rata dalam lima tahun terakhir masih di atas 20% (data dan informasi kemiskinan Jawa Tengah 2008-2012 - BPS Jateng).
Ketika data, fakta dan pomeo disandingkan nampak terbentang benang merah. Celoteh sang sopir minibus Gombong - Kebumen bukan bualan semata (jermong - jere omonge). Banyaknya jumlah PNS, khususnya guru yang telah mendapatkan sertifikasi, memang meningkatkan volume perekonomian. Tapi sebatas kegiatan konsumtif, belum produktif. Mobil dan sepeda motor seri terbaru yang mudah ditemui di jalanan adalah fakta lain yang menguatkan. Revitalisasi pasar-pasar tradisional dan sejumlah gedung pemerintahan yang ditopang sumber dana APBN membuat wajah kota Kebumen yang terasa sepi setelah jam 8 malam kecuali di alun-alun. Lalu di mana letak ketimpangan pembangunan yang direpresentasikan dengan keberadaan RSUD itu ?
Dari hasil lomba Riset Unggulan Daerah (RUD) 2013 pada sub tema OVOP Kerajinan Pandan misalnya, sampai saat ini belum nampak ada gregetnya. Para anggota cluster anyaman pandan di sekitar Kecamatan Karanganyar dan Karanggayam masih berkutat dengan masalah klasikal kelangkaan sumber dana, kualitas sumber daya manusia dan akses informasi pasar yang memadai. Kearifan lokal yang ada di dalamnya belum mampu mengatasi masalah internal keberpihakan pihak-pihak kompeten dan praktik "mafia ekspor" yang konon didominasi oleh para pelaku bisnis yang hanya memburu rente ekonomi.
Tak keliru jika pelaku wirausaha sosial sekelas Irma Suryati mengeluhkan minimnya minat dan lahan garap pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang di tahun 2014 ini jadi satu tema RUD ketika kami berbincang tentang peluang pengembangannya di sela pelaksanaan Bazar Relawan dan Potensi Kreatif Rakyat dalam arena Karya Bakti untuk Negeri 2014 di halaman parkir STIKes Muhammadiyah Gombong 11 -16 Agustus 2014 yang sepi pengunjung dan respon instansi pemerintah itu ...?. Entahlah. Yang jelas, kegiatan yang sebenarnya dimaksudkan untuk mewujudkan diseminasi ekonomi kreatif di Kabupaten Kebumen ini memang menimbulkan kerugian baik materiil maupun moril pengelolanya. Dan celoteh sopir minibus Gombong - Kebumen bukan jermong, omdo atau sebutan sejenis.
Entah kali yang ke berapa, ungkapan senada saya dengar dari kalangan beragam. Kabupaten Kebumen memang memiliki banyak potensi dan "orang hebat" lahir di sini. Di lingkungan yang oleh almarhumah ibunda kami disebut lemah cengkah atau tanah liat. Satu ungkapan untuk merepresentasikan keadaan yang sangat sulit diolah jadi lahan subur selain untuk bahan membuat batu bata dan genteng yang beberapa tahun terakhir oleh penduduk sekitar lokasi produksinya disebut " penjual tanah air". Benarkah sebutan atau pomeo itu ?
Dari perbincangan serius tapi santai dengan berbagai kalangan yang punya kepedulian kuat memajukan wilayah ini dan bertahan dengan sikap mandirinya, ada satu kesamaan nada: minor ! Arahnya cukup jelas, budaya feodalistik yang tercermin dari perilaku para pemangku jabatan di lingkungan pemerintahan (dan politik tentunya). Indikasinya nampak pada tingginya minat jadi pegawai negeri sipil di satu sisi dan rendahnya minat jadi wirausaha karena tingkat kesulitan berkembang cukup tinggi. Wujudnya adalah komposisi APBD dengan perbandingan yang sangat timpang antara belanja pegawai dan rutin yang berkisar 70% dibanding belanja pembangunan 30%. Sementara itu, pendapatan asli daerah (PAD) belum mampu melampaui tingkat kemiskinan daerah yang rata-rata dalam lima tahun terakhir masih di atas 20% (data dan informasi kemiskinan Jawa Tengah 2008-2012 - BPS Jateng).
Ketika data, fakta dan pomeo disandingkan nampak terbentang benang merah. Celoteh sang sopir minibus Gombong - Kebumen bukan bualan semata (jermong - jere omonge). Banyaknya jumlah PNS, khususnya guru yang telah mendapatkan sertifikasi, memang meningkatkan volume perekonomian. Tapi sebatas kegiatan konsumtif, belum produktif. Mobil dan sepeda motor seri terbaru yang mudah ditemui di jalanan adalah fakta lain yang menguatkan. Revitalisasi pasar-pasar tradisional dan sejumlah gedung pemerintahan yang ditopang sumber dana APBN membuat wajah kota Kebumen yang terasa sepi setelah jam 8 malam kecuali di alun-alun. Lalu di mana letak ketimpangan pembangunan yang direpresentasikan dengan keberadaan RSUD itu ?
Dari hasil lomba Riset Unggulan Daerah (RUD) 2013 pada sub tema OVOP Kerajinan Pandan misalnya, sampai saat ini belum nampak ada gregetnya. Para anggota cluster anyaman pandan di sekitar Kecamatan Karanganyar dan Karanggayam masih berkutat dengan masalah klasikal kelangkaan sumber dana, kualitas sumber daya manusia dan akses informasi pasar yang memadai. Kearifan lokal yang ada di dalamnya belum mampu mengatasi masalah internal keberpihakan pihak-pihak kompeten dan praktik "mafia ekspor" yang konon didominasi oleh para pelaku bisnis yang hanya memburu rente ekonomi.
Tak keliru jika pelaku wirausaha sosial sekelas Irma Suryati mengeluhkan minimnya minat dan lahan garap pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang di tahun 2014 ini jadi satu tema RUD ketika kami berbincang tentang peluang pengembangannya di sela pelaksanaan Bazar Relawan dan Potensi Kreatif Rakyat dalam arena Karya Bakti untuk Negeri 2014 di halaman parkir STIKes Muhammadiyah Gombong 11 -16 Agustus 2014 yang sepi pengunjung dan respon instansi pemerintah itu ...?. Entahlah. Yang jelas, kegiatan yang sebenarnya dimaksudkan untuk mewujudkan diseminasi ekonomi kreatif di Kabupaten Kebumen ini memang menimbulkan kerugian baik materiil maupun moril pengelolanya. Dan celoteh sopir minibus Gombong - Kebumen bukan jermong, omdo atau sebutan sejenis.
Kamis, 01 Mei 2014
Rapor Merah di Hari Pendidikan Nasional 2014
05.23
2013, AGTIKKNAS, aksi damai, hari, kementerian, kota vokasi, kurikulum, M. Nuh, merah, pelecehan seksual, pendidikan nasional, rapor, sekolah internasional
No comments
Hari pendidikan nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei, untuk tahun ini nampaknya akan merupakan waktu terburuk bagi Kementerian Pendidikan Nasional yang dipimpin M. Nuh. Sedikitnya ada tiga "mata pelajaran" utama yang membuat mantan rektor ITS ini akan berwarna merah alias tak lulus uji. Pertama, tentu kasus pelecehan seksual yang terjadi di Jakarta Internasional School yang memaksanya menjadi Tergugat II. Kedua, berkaitan dengan pelaksanaan kurikulum 2013 yang membuat AGTIKKNAS (Asosiasi Guru TIK dan KKPI Nasional) berang dan berencana memberi kado khusus berupa demonstrasi (aksi damai) yang semula akan dilakukan di Bundaran Hotel Indonesia, diubah menjadi di depan Gedung Kemendiknas Senayan. Ketiga dan belum nampak dipermukaan adalah Kebijakan Kota Vokasi yang tidak disertai punishement atas Program Imbal Swadaya Pengembangan Kota Vokasi yang dikeluarkan Direktur Pembinaan SMK Tahun 2007.
Penerapan kebijakan kota vokasi dinilai hanya "proyek penambangan kaum pekerja kontrak" seperti terjadi di jaman kolonial Belanda meski di dalamnya telah menyertakan Kantor Akuntan Publik. Ada dua tujuan utama yang selama ini kurang disosialisasikan dan menjadi satu penyebab penting kemunduran sekolah menengah umum (SMA/MA) secara drastis terutama di kabupaten/kota yang masih tergolong miskin seperti Kebumen. Data pada file download adalah satu-satunya rujukan publik dalam mencari tahu hal ihwal program yang dalam pelaksanaannya cenderung dirasakan sebagai proyek saja. Apalagi jika ditinjau dari hasil yang diharapkan yaitu:
Solo dengan segenap daya yang ada tentu tidak sebanding dengan Kebumen yang mengalami banyak keterbatasan sumber daya, terutama sumber daya manusia yang mampu menghadirkan keunikan (benchmarking). Keunikan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dapat diwujudkan dalam suasana lingkungan yang mendukung budaya kreatif dan inovatif. Di dalam masyarakat yang mampu menghargai karya cipta dengan tulus dan memadai pada proses apresiatif yang terbuka.
Kebijakan kota vokasi yang telah berjalan lebih dari enam tahun belum memberi gambaran sesuai tujuan utamanya. Dari 5 tujuan yang ditetapkan, peningkatan akses memang terjadi. Tapi soal peningkatan mutu belum mencapai nilai agregat pembangunan ekonomi daerah yang memenuhi syarat peningkatan jumlah dan mutu lulusan SMK sebagai wirausahawan baru dan menjadi daya tarik utama yang mengundang investor. Dalam hal ini, pelaksanaan kebijakan kota vokasi masih bernilai merah. Keadaan yang tidak diijinkan lagi berlaku di sekolah saat ini. Menggelikan!!!.
Angka merah lain tentu dari Kurikulum 2013 yang menghapus mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) untuk pendidikan umum dan KKPI (Ketrampilan Komputer dan Pengolahan Informasi) untuk jalur pendidikan kejuruan. Di media sosial ini beragam ekspresi kekecewaan dan sikap para guru yang bergabung di Asosiasi Guru TIK dan KKPI Nasional atas hal ini dinyatakan secara terbuka. Bahkan ada 10 Tuntutan dan Pernyataan Sikap (2 Mei 2014) yang akan dibacakan pada Aksi Damai di Hari Pendidikan Nasional 2014 yaitu:
Dari 10 pernyataan di atas, point 8 s.d 10 adalah sinyal kuat betapa hal yang paling mendasar dan menjadi kewajiban utama Kementerian Pendidikan Nasional mengisi dan mempertahankan kemerdekaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsanya sangat layak dipertanyakan. Akankah masalah ini juga menjadi nilai merah dalam rapor mereka ?
- Penyusunan Blue Print Pengembangan Kota Vokasi dan Masterplan Teaching Factory- Technopark.
- Pemenuhan secara bertahap fasilitas Teaching Factory- Technopark.
- Melaksanakan kegiatan awal pengembangan kota vokasi.
Solo dengan segenap daya yang ada tentu tidak sebanding dengan Kebumen yang mengalami banyak keterbatasan sumber daya, terutama sumber daya manusia yang mampu menghadirkan keunikan (benchmarking). Keunikan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dapat diwujudkan dalam suasana lingkungan yang mendukung budaya kreatif dan inovatif. Di dalam masyarakat yang mampu menghargai karya cipta dengan tulus dan memadai pada proses apresiatif yang terbuka.
Kebijakan kota vokasi yang telah berjalan lebih dari enam tahun belum memberi gambaran sesuai tujuan utamanya. Dari 5 tujuan yang ditetapkan, peningkatan akses memang terjadi. Tapi soal peningkatan mutu belum mencapai nilai agregat pembangunan ekonomi daerah yang memenuhi syarat peningkatan jumlah dan mutu lulusan SMK sebagai wirausahawan baru dan menjadi daya tarik utama yang mengundang investor. Dalam hal ini, pelaksanaan kebijakan kota vokasi masih bernilai merah. Keadaan yang tidak diijinkan lagi berlaku di sekolah saat ini. Menggelikan!!!.
Angka merah lain tentu dari Kurikulum 2013 yang menghapus mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) untuk pendidikan umum dan KKPI (Ketrampilan Komputer dan Pengolahan Informasi) untuk jalur pendidikan kejuruan. Di media sosial ini beragam ekspresi kekecewaan dan sikap para guru yang bergabung di Asosiasi Guru TIK dan KKPI Nasional atas hal ini dinyatakan secara terbuka. Bahkan ada 10 Tuntutan dan Pernyataan Sikap (2 Mei 2014) yang akan dibacakan pada Aksi Damai di Hari Pendidikan Nasional 2014 yaitu:
- Tolak Penghapusan Mata Pelajaran TIK & KKPI (Mata Pelajaran Komputer)
- Kembalikan TIK & KKPI dalam Kurikulum sebagai mata pelajaran Wajib di semua Jenjang
- Perubahan dan Peningkatan Materi Pelajaran TIK/KKPI sesuai dengan tuntutan zaman
- Segala Kebijakan Tentang TIK dan Mapel TIK/KKPI Harus melibatkan Organisasi Profesi
- Program peningkatan kualitas guru TIK/KKPI secara merata dan berkesinambungan
- Lindungi Keberadaan Guru Honorer dan Guru Swasta di Sekolah
- Selamatkan mahasiswa Jurusan Pendidikan TIK (calon guru komputer)dari Pengangguran dan Aborsi Massal
- Jangan buat Indonesia menjadi Negara Konsumtif di bidang TIK
- Jangan biarkan Indonesia di Jajah secara Teknologi
- Jangan gadaikan Ketahanan Nasional kepada pihak ASING
Dari 10 pernyataan di atas, point 8 s.d 10 adalah sinyal kuat betapa hal yang paling mendasar dan menjadi kewajiban utama Kementerian Pendidikan Nasional mengisi dan mempertahankan kemerdekaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsanya sangat layak dipertanyakan. Akankah masalah ini juga menjadi nilai merah dalam rapor mereka ?
Kota Vokasi: Anugerah atau Bencana - Bagian Dua
05.22
benchmarking, daerah, drastis, ekonomi, imbal swadaya, kebijakan, kontradiktif, kota vokasi, menarik investor, menurun, minat, sekolah, umum, wirausaha
No comments
Foto: Rasimun |
Ditinjau dari tujuan
utama, kebijakan kota vokasi adalah untuk
peningkatan akses
dan mutu SMK yang lebih besar, serta memadukan antara pendidikan kejuruan
dengan pengembangan tata kota dengan mengutamakan pengembangan sektor ekonomi
wilayah kabupaten/kota (Economic Development).
Mengangkat faktor unik (benchmark)
wilayah dan menumbuh-kembangkan wirausaha serta mengundang investor. Dari sini
kita akan menarik satu garis besar dan tebal yang berujung pada peningkatan
kapabilitas lokal dalam keragka peningkatan kapasitas perkenomian nasional yang
disebut Gross Domestic Product (GDP).
GDP atau Produk Domestik Bruto (PBD)
adalah satu pendekatan ekonomi yang dipakai untuk mengukur volume produksi
barang dan jasa secara total dalam rentang waktu tertentu di sebuah negara. Di
dalamnya ada unsur asing dan lokal. Jika unsur asing disisihkan akan diketahui
nilai total kapasitas ekonomi yang dihasilkan oleh warga negara tersebut. Singkat
kata, GDP adalah satu dari banyak indikator ekonomi umum.
Satu tujuan utama kebijakan kota vokasi
adalah mengangkat sisi unik wilayah (kabupaten/ kota) tsb sebagai pemicu (trigger) dalam kerangka pembangunan
ekonomi wilayah yang memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya wirausaha serta
iklim investasi daerah. Dalam beberapa tulisan di situs yang lain, saya
menuliskan pentingnya kebijakan pembangunan ekonomi daerah ditopang oleh
kegiatan ekonomi berbasis masyarakat dan potensi kreatif warganya. Artinya,
pendekatan OVOP dan Ekonomi
Tabel 1. Kinerja Inovasi
Indonesia
Senin, 28 April 2014
Beramal, Fotomu Terpampang di Bis
09.35
ada di bis, amal, bus donor darah, fotomu, kerjasama, pengadaan, PMI, Rumah Perubahan
No comments
Hingga saat ini PMI
dapat mengumpukan 2,5 juta kantong
darah/tahun. Sedangkan kebutuhan darah menurut WHO adalah 2% dari jumlah
penduduk, berartidibutuhkan 4,8 juta kantong per tahun untuk Indonesia.
Untuk mengatasi
permasalahan tersebut dibentuklah program “Potret untuk kehidupan” sebuah
kerjasama antara Palang Merah Indonesia dan Kitabisa.co.id.
Melalui program ini
publik dapat bergotong-royong membantu PMI membeli 1 unit bus donor darah yang akan digunakan untuk menambah pasokan
darah PMI.
Bus Unit Donor Darah ini
akan membantu PMI dalam meningkatkan jumlah stok darah di Indonesia, terlebih pada
masyarakat perkotaan di mana kepadatan jam kerja akan menyulitkan masyarakat
jika harus bersusah payah mendonor pada Posko PMI. Adanya bus ini akan
memudahkan PMI untuk menjangkau masyarakat luas.
Jika selama ini bus
donor darah milik PMI dihiasi logo perusahaan, melalui kampanye ini logo
tersebut akan digantikan dengan ribuan foto donatur yang
melakukan donasi minimal Rp.100.000. Itulah kenapa kampanye ini bernama Potret
untuk Kehidupan, karena di bus donor darah ini akan ada potret kamu yang telah
memberi kehidupan untuk orang lain.
Interior Bis Donor Darah pada Bis Dondar UDD PMI Kab. Kebumen 1 |
Interior Bis Donor Darah pada Bis Dondar UDD PMI Kab. Kebumen 2 |
Interior Bis Donor Darah pada Bis Dondar UDD PMI Kab. Kebumen 3 |
Contoh Bis Dondar UDD PMI Kab. Kebumen |
Desain Bis |
Jumat, 18 April 2014
Kebijakan Kota Vokasi: Anugerah atau Bencana - Bagian Satu
15.51
drastis, imbal swadaya, kebijakan, kontradiktif, kota vokasi, menurun, minat, peserta didik, sekolah menengah, subsidi, umum
No comments
Foto: goog |
Pada tulisan berjudul Memperbaiki Citra Pendidikan di Indonesia, saya telah menyinggung tentang penerapan Kebijakan Kota Vokasi yang satu dampaknya adalah penurunan animo peserta didik (siswa/i) di sekolah menengah umum (SMA/MA) karena kecenderungan warga masyarakat umum khususnya di pedesaan lebih menginginkan putra/i-nya ikut proses belajar mengajar di SMK meningkat pesat. Juga oleh gencarnya promosi yang dilakukan para pejabat teras di jajaran Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) beberapa waktu lalu. Provinsi Jawa Tengah yang menyatakan diri sebagai pionir pelaksanaan Rencana Strategis 2020 tentu memperkuat hasrat dan upaya mendorong 35 Kabupaten/Kota seakan berlomba mewujudkannya. Tulisan berseri ini ingin mengangkat hal yang membuat para pengelola SMU berfikir ekstra keras dalam menyiapkan diri menyambut datangnya masa Penerimaan Siswa Baru tahun pelajaran 2014/2014 yang tinggal 2 bulan lagi.
Rektor Universitas Paramadina dan inisiator Gerakan Indonesia Mengajar, Anies Basewdan, menegaskan bahwa masalah utama di dunia pendidikan adalah lebih tertuju pada upaya meng-update guru merupakan faktor kunci ketimbang kurikulum dan tencana strategis yang dituangkan dalam kebijakan kota vokasi. Ibarat menembak, ketika kita sering meleset dalam membidik sasaran, langkah utama dan mendasar adalah memperbaiki ketrampilan penembaknya. Buka mengganti pistol atau pelurunya. Sebuah analogi yang sangat tepat.
Lalu, mengapa kebijakan kota vokasi ini diluncurkan dan apa tujuannya. Ternyata ada dasar kuat yang mendorong banyak sekali kabupaten/kota terutama yang masih berada dalam kategori miskin ngotot menerapkan Kebijakan Kota Vokasi. Inilah dasarnya yang bisa ditemukan dengan mudah di internet.
Rencana Strategis Depdiknas, peningkatan Akses pendidikan
di tingkat sekolah menengah akan lebih ditekankan pada Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), dimana pada tahun 2020 perbandingan SMK-SMA adalah 60:40. Berangkat
dari kebijakan tersebut, pada tahun 2007 Direktorat Pembinaan SMK mengulirkan
kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada peningkatan akses dan mutu SMK yang
lebih besar, serta memadukan antara pendidikan kejuruan dengan pengembangan tata
kota dengan mengutamakan :
- Pengembangan
sektor ekonomi wilayah kabupaten/kota (Economic Development).
- Peningkatan
kebutuhan kualitas dan standarisasi tenaga Kerja (Workforce Development).
- Kerja sama
pengembangan karier (Career Development Partnerships).
- Sumberdaya yang
tersedia online (Online resources)
Program ini bernama Imbal Swadaya Pengembangan Kota
Vokasi.
Program rintisan pengembangan
kota vokasi ini menekankan pada unsur pendekatan partisipasi Pemerintah,
Pemerintah Kabupaten/kota serta masyarakat dengan memberdayakan
komunitas-komunitas usaha kecil dan industri, mengembangkan kejuruan berbasis
sektoral perekonomian wilayah kabupaten/kota, seperti teknologi, pertanian,
pariwisata, dll. Sehingga terwujudnya suatu kota yang memiliki multifungsi yaitu
sebagai pusat pembelajaran Kejuruan, pasar tenaga kerja, serta pusat produksi guna meningkatkan Gross
Domestic Product Indonesia.
Program
rintisan kota vokasi diharapkan mampu mensinergikan seluruh sumberdaya
masyarakat terutama komunitas-komunitas usaha kecil dan industri, menarik
investor asing, sehingga tercipta pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan
mengurangi pengangguran.
Dengan terwujudnya
dukungan, perhatian dan kerjasama yang baik dari Pemerintah, Pemerintah Daerah
Kabupaten/kota serta DU/DI sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing
pihak, diharapkan Program rintisan kota vokasi akan dapat direalisasikan dan
masyarakat mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya.
1. Meningkatkan Akses dan Mutu secara agregat pada seluruh
SMK di Kota Vokasi.
2. Kota Vokasi sebagai model pencitraan peningkatan mutu SMK
yang dilakukan secara bersama-sama terukur dan terkoordinir.
3. Kota Vokasi mampu memberikan pelayanan pelatihan bagi
siswa SMK di kabupaten/kota sekitarnya.
4. Kota Vokasi menjadi Benchmarking bagi daerah
kabupaten/kota lainnya dalam aspek dukungan pemda bagi pengembangan mutu dan
akses SMK.
5. SMK di kota vokasi menjadi pendukung utama peningkatan
kualitas tenaga kerja, tumbuhnya perekonomian, mendorong munculnya entrepreneur
baru dan mengundang investor di kota vokasi.
(bersambung)
Jumat, 04 April 2014
Wajah-Wajah di Lembar Plastik dan Layar Kaca
21.03
belajar, gerakan kemanusiaan, legislatif, masyarakat madani, narsisme, pemilu, PMI, politik sektarian, sukarelawan, titik nadir. 2014
No comments
karya kreatif sukarelawan PMI Salatiga. |
Jelang masa tenang Pemilu Legislatif 2014, di sekeliling rumah kami banyak muncul kejanggalan kalau tak bisa disebut kegalauan. Wajah-wajah di lembaran plastik: MMT, stiker, kalender dan beragam alat peraga kampanye lain. Semua ingin mengekspresikan diri sesuai imajinasi masing-masing. Tapi pesan yang disampaikan sama, pilih aku. Banyak di antaranya berada di balik nama orang lain yang lebih tinggi tingkat kewilayahannya. Katakanlah, seorang calon di kabupaten yang bersanding dengan calon di tingkat nasional.
Fenomena lain adalah munculnya banyak calon yang selama ini diketahui kapasitas pribadinya tidak memadai untuk bertarung di "dunia keras" perpolitikan. Ada yang karena suami seorang tokoh, istri yang selama ini tak pernah bergaul dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya tiba-tiba muncul sebagai calon wakil rakyat dari partai politik tertentu yang gencar berkampanye di TV. Mungkin akan muncul pertanyaan standar, salahkah ? Tidak, semua warga negara yang memenuhi ketentuan prosedural boleh mencalonkan dan/atau dicalonkan sebagai wakil partai politik. Tapi tidak semua calon itu memenuhi kapasitasnya sebagai wakil rakyat. Di sinilah inti persoalannya.
Menjadi wakil partai politik dalam badan legislatif tidak berarti sama dengan wakil rakyat dalam pengertian umum. Untuk menjadi seorang wakil partai politik, ia bisa dari kader atau siapapun yang (dianggap) akan mampu menjadi pengumpul suara (vote getter). Wajah-wajah yang dikenal umum (public figure) semisal aktris, penyanyi, mantan atlet atau tokoh lain biasanya termasuk kategori ini. Apakah mereka punya kapasitas menjadi wakil rakyat ? Bisa ya, bisa juga tidak. Meminjam istilah satu acara kuis, survey membuktikan bahwa lebih banyak public figure yang gagal memenuhi kapasitas sebagai wakil rakyat dan terpaksa mengakhiri karir politiknya di balik jeruji rumah-rumah tahanan sebagai pesakitan. Kebanyakan terjerat kasus korupsi dan tindak asusila.
Menjadi wakil rakyat yang membawa keluh kesah dan harapan hidup lebih baik di masa depan tak semua wakil partai politik mampu melakukannya. Apalagi memercayai jargon "vox populi vox dei", suara rakyat adalah suara tuhan merupakan tambahan beban yang acapkali dipakai untuk mengasihani diri ketimbang menjadi kewajiban melekat seorang yang diberi amanah. Di sini terjadi missing link, ada tautan yang hilang antara realitas dan harapan.
Fenomena menarik public figure dalam kancah perpolitikan pada akhirnya hanya menguatkan sinisme publik bahwa partai politik itu telah gagal melakukan fungsi utamanya sebagai pusat pendidikan politik yang akan membawa kemajuan bagi masyarakat, bangsa dan negaranya. Hanya dalam hitungan jari mereka yang mampu bersikap seperti mantan pasangan Bupati Garut Aceng Fikri, Dicky Chandra. Kebanyakan public figure yang alih profesi jadi politisi justru terjebak dalam lingkaran setan pusaran arus liar sektarianisme yang ada di balik nama dan tokoh utama suatu partai politik. Sekte-sekte yang tak lagi berpijak pada paham bangsa-negara Indonesia yang dasar-dasarnya telah dijelaskan dalam Pembukaan UUD 1945.
Pemilu legislatif 2014 ini nampaknya akan menjadi satu titik nadir bagi dunia perpolitikan praktis di Indonesia karena meningkatnya kesadaran dan pemahaman masyarakat. Media sosial punya peran besar dalam menguatkan aliran informasi yang mencerahkan dan secara langsung atau tidak melalui pesan-pesan kreatif telah menjadi pijakan utama dalam menentukan sikap seorang pemilih. Ini dibuktikan di lapangan, banyak upaya money politics ditanggapi sikap: terima uangnya, jangan pilih orang atau partainya. Keculasan yang pernah terjadi di bilik suara dengan perangkat ponsel sebagai bentuk transaksi dibalik pintu nampaknya tidak akan berulang pada pemilu sekarang. Ada kesadaran yang kian menguat bahwa dampak transaksional itu sangat tidak sepadan dengan nilai uang dan masa depan yang dipertaruhkan.
Akhirnya wajah-wajah di balik lembar plastik MMT para calon anggota legislatif dan layar kaca TV partai politik yang bertebar narsisme perlu belajar dari suka-relawan PMI seperti dalam gambar di atas. Sikap yang diinisiasi oleh gerakan kemanusiaan dan masyarakat sipil (civil society). Bahwa yang dituhankan oleh partai dan para calegnya adalah berhala. Bukan Tuhan Maha Kuasa atas semesta alam ini. Pelajaran yang sangat mahal dalam proses demokrasi dan demokratisasi di Indonesia. Tak ada lagi vox populi vox dei.
Rabu, 26 Maret 2014
Guru Mogok, Siapa Yang Salah ? - Bagian Doea
11.43
2013, cemas, galau, guru, kurikulum, lemas, manajemen pendidikan nasional, mengagungkan ijasah, pemerataan, penjajahan, penyakit utama, tidak percaya diri, TIK/ KKPI
No comments
Ada yang menarik dari upaya para guru mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk jalur pendidikan umum serta Ketrampilan Komputer dan Pengolahan Informasi (KKPI) bagi sekolah kejuruan/SMK yang mempertanyakan alasan hilangnya mata pelajaran itu dalam Kurikulum 2013 yang kini tengah diujicobakan di berbagai wilayah di tanah air. Penelusuran pertama tentu dari sumber informasi sekunder. Jika kita pernah menanda-tangani satu petisi di www.change.org/, setiap ada petisi baru akan muncul dalam kotak masuk e mail berupa pemberitahuan. Ada dua petisi serupa. Pertama, diajukan oleh Sekretaris jenderal Asosiasi Guru TIK dan KKPI Nasional atas nama Wijaya Kusumah. Yang kedua berasal dari Musyawarah Guru Mata Pelajaran atau MGMP TIK Kalimantan Timur.
Bila kita cermati posting dan komentar para anggota Asosiasi Guru TIK dan KKPI Nasional di jejaring sosial facebook , banyak sisi yang selama ini sering hanya muncul sebagai bahan perbincangan di bawah permukaan alias bisik-bisik, menjadi begitu terang dan gamblang. Bahwa, banyak guru dan kepala sekolah yang berijasah Strata 2 (S2) dan tengah menempuh Strata (3) diragukan kemampuan pribadinya dalam menguasai Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jangankan internet yang sekarang tengah mengalami fase perkembangan luar biasa karena kehadiran telepon selular canggih (android dan sejenisnya) sehingga informasi mengalir seolah tanpa batas waktu dan ruang dengan beragam isi dan aplikasinya. Untuk menghidupkan komputer saja banyak yang mengalami kesulitan. Apalagi menggunakan aplikasi yang ada di dalamnya.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), nampaknya telah berbulat hati untuk melanjutkan keinginan menerapkan Kurikulum 2013 tanpa kehadiran mata pelajaran TIK dan KKPI. Dari acara perbincangan langsung (talkshow) antara Direktur SMA Kemendikbud, Harris Iskandar dan Wijaya Kusumah yang mewakili AGTIKKNAS di Berita Satu TV jelas terlihat kekukuhan sikapnya meski tekah diingatkan bahwa dampak pemberlakuan Kurikulum 2013 tanpa TIK akan bukan mengantar generasi muda Indonesia menjadi generasi emas di tahun 2045 atau seabad usia Proklamasi Kemerdekaan RI. Justru sebaliknya, membuatnya menjadi generasi yang cemas dan lemas.
Dalam satu tulisan yang dimuat di situs resmi Kemendikbud, Harris Iskandar menjelaskan dengan begitu menyakinkan. Bekal mencari kerja di abad 21 bukan lagi kemampuan baca, tulis dan hitung yang disingkatnya dengan istilah calistung. Tapi harus berbekal pula dengan kemampuan TIK. Pada selang waktu tak begitu jauh (06 Januari 2014) dan 17 Maret 2014, jutaan orang menjadi saksi betapa pongahnya pejabat setingkat Direktur di Kemendikbud itu. Banyak pertanyaan mendasar yang tak mampu dijawabnya, selain selalu berkelit bahwa guru TIK tak dirugikan dengan kehadiran Kurikulum 2013 dan anak saya (sambil menujuk Wijaya Kusumah sebagai gurunya di Lab School Jakarta) tanpa dibimbing sudah bisa mengunduh dari internet. Arahnya menjadi sangat jelas, bahwa Kurikulum 2013 adalah sebuah proyek di akhir masa jabatan Kemendikbud pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Bukan merupakan program seperti yang didengungkan dengan memberi sebutan generasi emas.
Seorang anggota grup Fb Agttiknas, Lucky Mamusung, membuat sebuah status yang sangat menyentuh (jika para pembacanya masih punya nurani). Penggalan dalam beberapa alinea terakhir adalah sebagai berikut:
- Anak saya sudah bisa mendownload di komputer saya, tapi yang didownload itu tanpa disadarinya adalah malware dan trojan. Sehingga merusak browser, bahkan mengambil alih desktop saya. Saya harus install ulang sistem saya, kehilangan banyak data-data penting di pekerjaan dan waktu untuk memperbaikinya.
- Anak saya meringkuk merasa sangat bersalah atas ketidaktahuan yang dilakukannya. Membuat saya mengeluh dalam hati, mengapa sekolah tidak mengajarkan tentang etika browsing dan keamanan data pada anak saya? Andai sekolah mengajarkan TIK padanya, tentu kerugian materil seperti ini bisa dihindari...
- Menarik napas yang menyesakan dada... bertanya-tanya...
- Mengapa pendidikan negara ini berjalan mundur?
Satu pertanyaan wajar dan sangat mendasar. Pada tulisan berjudul Mengembalikan Citra Pendidikan Indonesia , Ari Saputra menyebut 3 penyakit utama dalam manajemen pendidikan nasional :
- Tidak percaya diri. Bukti : kebiasaan menyontek dan copas (copy paste).
- Mengagungkan ijasah. Memberi harga lebih pada nilai formal ijasah ketimbang isinya. Hal ini menyebabkan orang cenderung pragmatis dan kapitalis.
- Ketidak-merataan sebaran informasi, sarana dan prasarana pendidikan.
Masalah pendidikan di Indonesia sudah seperti benang kusut yang sangat sulit diurai. Sementara itu, di belahan dunia lain justru berani melakukan perubahan mendasar dan karenanya terus berjalan maju. Kurikulum hanya sebuah alat, bukan roh yang menandai hidup matinya manusia. Bersikukuh dengan membiarkan kekeliruan terus berlangsung bukan hanya menghilangkan kesempatan bangkit dari tidur panjang alam feodalisme yang berlaku selama ini. Ini sama artinya dengan penjajahan berselubung formalitas karena membunuh karakter manusia Indonesia yang merdeka dan bermartabat.